"Ayah, siapa yang menang? Indonesia menang?" tanyaku polos.
"Belum sayang, masih seri. Jadi ada penambahan waktu lagi," jawab Ayah.
Aku mengangguk tanda mengerti. Meski sebenarnya masih ada seribu pertanyaan yang harus dijawab oleh Ayah, google andalanku yang tak perlu mengeluarkan kuota untuk bertanya.
Ibu menyuapiku pisang goreng. Aku langsung menelannya tanpa kunyahan, karena rasanya masih terlalu panas untuk lidahku. Ayah juga mulai mencomot bakwan yang terlihat lebih menggoda dibandingkan pisang goreng.
Tanda tanya seperti berputar dalam pikiranku. Rasa penasaranku semakin bertambah, entah sudah sampai pangkat berapa. "Ayah, mengapa Ayah dan Ibu selalu mengajakku menonton bola? Bukannya sepak bola adalah permainan untuk anak laki-laki?" tanyaku lagi.
Ibu langsung memotong pertanyaanku, bersaut, "Sepak bola bisa dimainkan laki-laki atau perempuan. Tidak ada batasan untuk melakukan olahraga sepak bola sayang."
Ayah menelan makanannya. Lalu merubah posisi duduknya, menghadap padaku. Aku tahu betul bahwa Ayah akan memberiku dongeng-dongeng terbaiknya. Aku siap mendengarkannya, seperti biasa.
"Nak, hidup ini seperti bermain bola."
Kali ini, dongeng Ayah nampak tak mengasyikan. Biasanya bermula dengan kata 'pada suatu hari' atau awalan yang lebih menarik. Tapi kini malah memberi pernyataan yang tak bisa ku cerna apa maknanya.
Ibu menyuapiku lagi, namun aku menangkisnya. Tanda menolak. Sebagai bentuk kekecewaan atas jawaban Ayah.
Melihat responku terhadap Ibu, Ayah kembali melanjutkan dongengnya. "Dalam permainan sepak bola kita dapat belajar tentang kehidupan. Bahwa kita tak bisa sendirian dalam mencapai tujuan. Perlu adanya dukungan dari sekeliling. Perlu ada kerjasama tim yang solid. Itu adalah ciri bahwa manusia adalah makhluk sosial."