Hujan deras menguyur kota. Â Aliran airnya berkelok mencari jalan keluar menuju muara. Melewati trotoar, jembatan, selokan, parit, apa saja yang bisa dilaluinya.
Aku baru saja menghenyakkan tubuh, duduk di single sofa bersanding meja kayu ulin dengan tekstur menarik. Sedikit mengibas gamisku bagian bawah yang basah dari tempias hujan. Ya, sesaat lalu aku berlari kecil menuju kafe ini, ketika langit baru saja menumpahkan gerimis hingga tetiba menderas.
Menikmati bulir-bulir air yang bergulir vertikal di dinding kaca jendela bagian luar, aku tersenyum simpul dengan rasa syukur di hati. Panas terik sepekan, Tuhan Yang Maha Baik menurunkan hujan melimpah ruah.
Dingin cuaca mulai menerpa wajahku yang berada tidak jauh dari kaca yang dibiarkan sedikit terbuka itu. Hmm, aroma petrikor mulai menguar dari pori-pori tanah dan jalanan. Kuresapi suasananya dengan memejam mata.
Pelayan meletakkan minuman dan kue yang kupesan beberapa menit lalu. Aroma petrikor berganti dengan wanginya teh melati dan cheese croissant yang menggoda indera penciumanku.
Kudekatkan hidung pada cangkir biru, sedap nian! Aku mulai menyesapnya, perlahan, menikmati kehangatan minuman favorit dengan terpaan cahaya awan kelabu.
Aku mengelap kaca yang berembun dengan sehelai tisu. Dan, hei!
Tampak seekor kucing belang tiga, meringkuk di bawah mobil di teras parkiran kafe, mendekap hangat tubuhnya sendiri yang ringkih. Dingin udara di sekelilingnya, pastilah membuat tubuhnya sedikit menggigil. Setidaknya ia terobati dengan berlindung di tempat beralas semen.
Sesekali kilatan cahaya kendaraan yang lalu lalang tersorot padanya. Si kucing bergeming. Ia menikmati aliran air hujan yang suka-suka berjalan dihadapannya. Berharap, makhluk cair itu tidak menganggu ketenangan singgasananya.
Waktu memang sedang bergulir menuju senja dan aku sengaja menanti momen bias lembayung di kafe ini di setiap akhir pekan aktivitas kerja.
Sembari mengunyah kudapan, aku mengamati kucing kecil itu. Matanya seakan bermain memperhatikan aliran air yang mampir di sela-sela lantai semen. Tubuhnya beringsut menghindar, tak ingin ada secuil basah menyergap kakinya.
Aku beranjak menemui pelayan kafe,
"Boleh saya meminta sesuatu?" Ia mengangguk dan aku membisikkan permintaan agar ia berkenan membuatkan semangkuk susu. Kutunjukkan padanya, ada tamu kecil di bawah mobil. Sekaligus meminta tolong untuk melayaninya. Pelayan pun tahu maksudku.
Kembali duduk di tempat semula, aku mengamati lagi kucing belang tiga masih meringkuk di sana.
Teringat di masa kecil hingga remaja, aku dan kakak-kakak memelihara kucing-kucing lucu. Mereka menjadi kawan penghibur di segala suasana.
Bertahun-tahun kucing-kucing itu membersamai, hingga akhirnya mereka memilih jalan hidupnya sendiri, pergi dari rumah dan tak kembali. Ada pula yang mati karena menua, ada pula kerabat yang memungut menjadi peliharaan.
Sejak aku memutuskan merantau ke kota ini untuk melanjutkan studi dan kini bekerja, tak pernah lagi sempat untuk memeliharanya lagi. Oh, sepinya tanpa mereka ketika merindu masa-masa dahulu.
Dari balik kaca jendela, kulihat pelayan kafe meletakkan semangkuk susu hangat di sudut tempat. Ia sedikit merunduk, memanggil manis si kucing belang agar mendekat. Aroma susu hangat mengusik indera penciumannya.
Aha!Â
Si Belang pun dengan takut-takut mendekati mangkuk itu. Mengendus sekejap, sejurus kemudian lidahnya menari teratur, lincah menyesap susu dengan caranya.
Pemandangan yang manis untuk hatiku sore ini. Aku dan dia menyesap minuman hangat sesuai selera. Derasnya hujan menjadi latar irama suka-suka. Hingga derasnya berkurang dan melantunkan nada-nada tik-tik di setiap tempat, rasa suka cita berbagi bersama si kucing belang masih terus menyelimuti jiwa.
Sebentar lagi malam tiba. Aku beranjak untuk meninggalkan kafe dan berniat membereskan pembayaran.
"Selamat ulang tahun, Kak! Semua makanan dan minuman kakak sudah lunas." Senyum gadis petugas kasir mengembang, membuatku bingung. Dari mana dia tahu aku berulang tahun?
Manager on Duty di sebelahnya menjelaskan, seseorang telah membayar seluruh pesananku, termasuk pesanan ekstra untuk si kucing belang.
"Siapa yang telah membayarkannya?"
Mereka tak mau menjawab. Rahasia, katanya. Itu pasti permintaan si Tamu Misterius. Ah, siapa dia?
 "Selamat ulang tahun, Fika. Meski kutahu kau takkan merayakan pertambahan usia, tapi aku tahu kau pasti akan datang di kafe ini untuk menikmati senja. Izinkan aku menjadi pengagum misteriusmu."
Begitulah isi kartu ucapan bersampul merah jambu yang kuterima dari si Manajer. Reflek, kudekapkan kartu itu ke dada, gemuruh jantungku makin tak karuan.
"Baiklah, terima kasih semuanya. Pamit dulu."
Kuhampiri si Belang Tiga yang rebah dengan dengkuran teratur. Dengan beberapa kali usapan di kepalanya, aku membatin berucap doa, agar ia selamat dan tetap dalam suasana hangat.
Temaram langit kota, mulai berpendar dengan lampu-lampu sorot jalanan dan dari gedung-gedung megah. Kutapaki trotoar basah dengan senyum mengembang atas kejadian hari ini yang selalu aku syukuri.
 Happy day, Kitty!Â
Thank's  untuk seseorang yang berbaik hati memberiku hadiah terindah hari ini.
Kota Tepian Mahakam, 1 November 2023
***
Siska Artati - seorang ibu rumah tangga, pengajar privat dan penyuka buku.
Cerpen di atas diikutsertakan dalam rangka mengikuti Sayembara Cerpen IX yang diselenggarakan oleh Komunitas Pulpen dengan tema Ulang Tahun
***
Artikel 96 - 2023
#Tulisanke-541
#CerpenSiskaArtati
#CerpenUlangTahun
#RomansadiPenghujungSenja
#SayembaraPulpen
#Pulpen
#NulisdiKompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI