Pernah suatu saat, teman baik Haris yang juga teman sepermainanku, menyampaikan bahwa Haris memiliki ketertarikan padaku, tak hanya sekedar sebagai teman. Tapi aku memperlakukan cowok itu dengan tulus sebagai sahabat. Kusampaikan pula melalui temanku itu, agar Haris tidak menaruh harapan padaku. Bagiku menjadi sahabat yang kami jalani selama ini sudah sangat berarti. Rupanya sahabatku ini mengerti bahwa diriku tak memiliki rasa lebih dari sekedar teman.
***
Waktu beranjak mengantar kami lebih dewasa. Haris melanjutkan pendidikan lebih tinggi ke ibukota provinsi lain. Aku sendiri melanjutkan ke universitas di ibukota provinsi wilayah kami tinggal.
Sebenarnya Haris diterima di fakultas teknik di univeraitas yang sama denganku. Namun ia lebih memilih sekolah tinggi yang memberikan uang saku pendidikan bagi mahasiswanya dan mendapat jaminan pekerjaan di perusahaan-perusahan yang bekerja sama dengan pendidikan tinggi.
Bersyukur, kami masih bisa saling melepas rindu dengan.mengurai gelak tawa dengan kisah masing-.masing selama kuliah saat sedang menikmati liburan semester. Haris sealu menyempatkan menyambangiku ke rumah. Bahkan ia tak sungkan memberikan tanggapan, saran dan masukan, bila aku curhat soal kekasihku.
***
Haris sedikit tergelak, mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, menggelengkan kepala, tampak mimik mukanya senang melihatku di layar laptopnya.
“Akhirnya, aku bisa menemukanmu dan kita jumpa melalui zoom, Kia!” Aku pun tertawa riang mendengar komentarnya di seberang sana.
Ya, kami telah terpisah jarak, ruang dan waktu, namun terhubung dengan kecanggihan teknologi sehingga bisa melakukan percakapan jarak jauh dan saling menatap wajah masing-masing via online.
"Gimana kabarmu, Har? Berapa anakmu?" Aku menyapanya mulai mengajak berbincang.
"Alhamdulillaah, anakku dua, laki-laki semua. Kamu?"