Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat Dalam Kelindan Doa

15 Oktober 2023   11:30 Diperbarui: 15 Oktober 2023   11:56 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: vecteezy.com

“Haris? Kamu di sini? Ngapain?” Aku setengah berseru melihat siswa laki-laki itu duduk di antara murid-murid berseragam putih abu-abu yang ada di bangku semen lorong sekolah.

“Hai, Kia! Kamu sendiri ngapain pula kemari?” Haris berdiri menyambutku, merekahkan senyuman. Kami bersalaman. 

“Kenalin, ini Irwansyah. Kami berdua mewakili sekolah untuk kompetisi.” Kawan di sebelahku turut bersalaman dengan Haris.

“Kamu datang berdua dengan siapa?” tanyaku sembari menelisik beberapa siswa perempuan di dekatnya.

“Oya, kenalkan ini Yanti, ‘pasanganku’ yang mewakili siswa putri dari sekolah kami.” Haris menunjuk kawan persis di sebelahnya. Perempuan itu berdiri dengan mimik ramah menyalamiku dan Irwansyah.

“Ya, ampun, Har! Selalu ketemu kamu di tiap lomba. Apa nggak ada yang lain, sih?” Aku turut duduk di bangku kosong.

“Itu tandanya memang aku selalu berprestasi, seperti kamu juga, kan?” Haris tertawa kecil, menampakkan barisan giginya yang putih bersih.

***

Aku mengenal Haris sejak di bangku sekolah dasar. Kami berbeda sekolah. Pada setiap kegiatan lomba yang diadakan oleh satuan pendidikan, baik tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten, kami hampir selalu bertemu di jenjang final.

“Bapak menantangmu, Saskia. Kalahkan anak Bapak di lomba cerdas cermat. Kamu, Rani dan Nunuk, pasti bisa mengalahkan tim mereka. Bapak yakin itu.” Kepala Sekolah yang menghampiri dan memberikan dukungan kepada kami bertiga, menyuntikan semangat kepadaku.

“Anak Bapak? Yang mana?” Setengah berbisik aku bertanya sembari mengedar pandangan ke penjuru ruangan aula yang penuh dengan peserta lomba.

“Itu,” sahut Kepala Sekolah, kepalanya sedikit turun, menunjuk siswa putra yang sedang duduk membaca materi, tak jauh dari tempat kami berdiri.

“Oh, itu putra Bapak, tho? Saya sering jumpa di lomba-lomba sebelumnya, Pak.” Aku terkejut dengan mimik senang.

“Iya. Namanya Haris, sekolah di SD Negeri 01. Memang dia tidak bersekolah di tempat kita. Semoga tim kamu menang, Nak.” Beliau menepuk bahuku.

“Siap, tropi juara itu akan kami bawa pulang untuk sekolah kita, Pak.” Seruku mantap. Aku mencium aroma kemenangan berpihak padaku dan kawan-kawan.

Sejak saat itulah, aku paham siapa lawanku dalam setiap kegiatan perlombaan. Karena hampir dipastikan, aku selalu bertemu Haris di level final pada ajang kompetisi antarsekolah.

***

Aku tak bisa menolak takdir, begitu sebaliknya dengan Haris yang selalu mewakili sekolah di setiap ajang lomba. Kami tinggal satu desa, namun berbeda pilihan tempat studi, baik menengah pertama maupun menengah atas. 

Meski sering bertemu dalam kegiatan tersebut, kami jarang bersapa. Paling hanya melempar senyum, sekedar saling tahu bahwa lagi-lagi berada dalam satu ajang kompetisi.

Hubungan pertemananku dengan Haris makin dekat sejak kami berdua mendapat penghargaan sebagai siswa teladan putra dan putri SMA di tingkat kabupaten. Pada setiap kesempatan latihan dan tambahan pengetahuan bersama tim guru, Haris tak segan-segan mampir ke rumahku dan kami berangkat bersama dengan sepeda motor kesayangannya menuju ke kota.

Kami mulai membuka diri untuk saling ngobrol, berbagi cerita masa kanak dan remaja saat saling tahu kehadiran sebagai peserta lomba, hingga keseruan untuk bisa mengalahkan tim lawan.

Pernah suatu saat, teman baik Haris yang juga teman sepermainanku, menyampaikan bahwa Haris memiliki ketertarikan padaku, tak hanya sekedar sebagai teman. Tapi aku memperlakukan cowok itu dengan tulus sebagai sahabat. Kusampaikan pula melalui temanku itu, agar Haris tidak menaruh harapan padaku. Bagiku menjadi sahabat yang kami jalani selama ini sudah sangat berarti. Rupanya sahabatku ini mengerti bahwa diriku tak memiliki rasa lebih dari sekedar teman.

***

Waktu beranjak mengantar kami lebih dewasa. Haris melanjutkan pendidikan lebih tinggi ke ibukota provinsi lain. Aku sendiri melanjutkan ke universitas di ibukota provinsi wilayah kami tinggal. 

Sebenarnya Haris diterima di fakultas teknik di univeraitas yang sama denganku. Namun ia lebih memilih sekolah tinggi yang memberikan uang saku pendidikan bagi mahasiswanya dan mendapat jaminan pekerjaan di perusahaan-perusahan yang bekerja sama dengan pendidikan tinggi.

Bersyukur, kami masih bisa saling melepas rindu dengan.mengurai gelak tawa dengan kisah masing-.masing selama kuliah saat sedang menikmati liburan semester. Haris sealu menyempatkan menyambangiku ke rumah. Bahkan ia tak sungkan memberikan tanggapan, saran dan masukan, bila aku curhat soal kekasihku.


***

Haris sedikit tergelak, mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, menggelengkan kepala, tampak mimik mukanya senang melihatku di layar laptopnya.

“Akhirnya, aku bisa menemukanmu dan kita jumpa melalui zoom, Kia!” Aku pun tertawa riang mendengar komentarnya di seberang sana.

Ya, kami telah terpisah jarak, ruang dan waktu, namun terhubung dengan kecanggihan teknologi sehingga bisa melakukan percakapan jarak jauh dan saling menatap wajah masing-masing via online.

"Gimana kabarmu, Har? Berapa anakmu?" Aku menyapanya mulai mengajak berbincang.

"Alhamdulillaah, anakku dua, laki-laki semua. Kamu?"

"Satu, perempuan. Sekarang sudah umur lima belas tahun. Sebentar lagi masuk SMA."

Sejenak kami basa-basi bertukar kabar. Ternyata Haris menikah dengan adik kelasku yang juga tinggal satu kampung. Semenjak ia menemukan akun media sosialku dan menghubungi melalui pesan pribadi, kami saling bertukar nomer telepon. Saat ini juga, ia menghubungi dan kita melanjutkan silaturahim melalui zoom.

Hari-hari berikutnya, Haris rutin menghubungiku di sela kesibukan sebagai pimpinan kantor wilayah. Kami yang terpisah pulau dan perbedaan waktu, tetap bisa terhubung setelah belasan tahun tak jumpa.

Ya, jelang selesai kuliah, orang tuaku memutuskan menjual rumahnya di desa. Awalnya mereka adalah pendatang dan bekerja sebagai karyawan pabrik. Setelah Ayah meninggal sebelum aku wisuda, Ibu sendirian di rumah besar itu. Aku hanya sempat menemaninya beberapa bulan usai lulus kuliah. 

Sehubungan aku di terima bekerja di luar pulau, terpaksa aku meninggalkan Ibu Akhirnya, beliau memilih tinggal bersama kakak di Ibukota setelah urusan penjualan rumah selesai.

Rupanya Haris kehilangan kontak dan keberadaanku. Begitu juga denganku, yang hanya menyimpan alamat surat -menyurat dengannya di kos-an. Setiap ia mudik dan bertanya pada pemilik baru mantan rumahku, ia tidak.mendapatkan petunjuk apa-apa, selain kabar bahwa aku telah merantau ke tanah seberang.


***

Lembayung senja sangat cantik di ufuk barat. Aku menatapnya dari jendela besar ruang kantorku. Hatiku sendu, seakan ada perasaan yang bakal lenyap seiring derik-detik tumbangnya mentari.

Sendu. Perasaan kehilangan rutinitas ngobrol bersama Haris selama dua pekan ini. Ia seperti menghilang. Aku baru menyadarinya tiga hari lalu, kini media sosialnya telah memblokirku dan pengaturannya menjadi akun pribadi yang terkunci.

Ini karena sebuah pesan masuk ke gawaiku beberapa menit lalu, dari istri Haris.

"Jujur saya sampaikan, sebagai istri, saya sangat pencemburu. Apalagi pada Mbak Saskia yang saya tahu, kenal dan paham adalah sebagai sahabat sejati Mas Haris. Sahabat lama dari kalian masih kanak-kanak hingga kini. 

Mas Haris juga pernah bilang bila di masa remaja, ia naksir kamu, Mbak. Aku pun tahu soal itu semasa kami masih pacaran. Kini Mas menemukanmu melalui media sosial.

Saya tak hanya cemburu padamu, tapi juga dengan kawan-kawan wanita Mas Haris. Untunglah saya kenal Mbak Saskia. Tapi bagaimanapun, saya tidak menginginkan kedekatan suamiku dengan wanita lain meski berlabel sahabat. 

Bagi saya, tidak ada namanya persahabatan antarlawan jenis. Apalagi dulunya pernah menyimpan rasa. Dalamnya laut bisa diduga, dalamnya hati siapa yang tahu. Tak bisa ditebak, bukan?

Kehadiran Mbak Saskia dalam keseharian Mas Haris, seperti gema yang memantul kembali. Saya hanya bisa menduga dan menebak-nebak, demikianlah hati seseorang bisa dikenali melalui apa yang dikatakan, disukai dan dilakukannya. Mas Haris semakin ceria hanya karena bisa berjumpa kembali dengamu meski hanya melalui dunia maya.

Maka saya mohon, simpan harapan Mbak untuk kembali berkomunikasi dengan Mas Haris. Saya menjaga seutuhnya rumah tangga ini agar tidak ada perempuan lain di hatinya, selain saya dan ibunya. Semoga Mbak Saskia mengerti dan memenuhi permintaan saya agar tak lagi menerima  telpon, pesan Whatsapp atau pun pertemuan via zoom."

Tepat adzan Maghrib berkumandang, aku beristighfar.

Akan kupenuhi permintaan istri Haris. Berusaha paham dengan sifatnya yang posesif. Sahabatku ini pernah mengungkapkan adanya sinyal itu.

Persahabatan aku dan Haris in syaa Alah terjalin dalam kelindan doa, bersua di keteduhan langit-Nya

Kota Tepian Mahakam, 15 Oktober 2023 pukul 12.06 WITA

***

Siska Artati - Kompasianer yang sedang belajar menulis cerpen, penyuka buku dan Ibu rumah tangga. 

Cerpen tersebut diikutsertakan dalam Sayembara Cerpen PulPen VIII tema Sahabat

***

Artikel 91 - 2023

#Tulisanke-536
#CerpenSiskaArtati
#CerpenSahabat
#SayembaraPulpen
#Pulpen
#NulisdiKompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun