"Saya biasanya begitu, melintang. Si Ibu Warung belahnya membujur," sahut Pak Budi.
"Yang melintang seperti apa, yang membujur kayak gimana?" Pak Junjung sempat bertanya dengan menggunakan bahasa Jawa.
Saya tertawa riang membaca obrolan di WAG tersebut, kok ya ndilalah nge-pas di saat ada persediaan telur asin di rumah. Sudah sepekan ini saya mengkonsumsinya dan masih tersisa satu butir.
"Saya kupas separuh di bagian yang atas (posisi seperti 💧). Lalu digigit dulu. Kasih kecap sedikit, baru dikorek pakai sendok sedikit demi sedikit, sampai tinggal sisa cangkang bermangkuk," jawab saya.
"Wah, cara makannya berbeda-beda ya." Pak Budi berseru.
"Iya, Pak. Saya jarang membelahnya, dan tidak merasa repot."
Memang tiap penyajian telur asin yang biasanya bersanding dengan menu rawon atau soto, bisa terbelah, baik membujur atau melintang. Atau bahkan dibiarkan utuh dan tergantung selera penikmatnya.
Dan, saya salah satu dari sekian banyak penikmat tekur asin dengan cara mengelupas kulitnya sebagian saja, tanpa harus dipotong belah. Teknisnya sih, saya keprak perlahan telur asin di atas meja, kupas kulitnya dibagian atas hingga tengah saja. Kadang-kadang saya kepruk perlahan pake punggung sendok, ding. Lalu, setiap kerok telur, bubuhi kecap sedikit. Rasa asin dan manis bergumul dalam lumatan lidah. Asoy geboy!
Memang sih, ada yang khawatir juga kalau porsi kuning telurnya tidak seimbang ketika terbelah. Ada yang kebagian putihnya lebih banyak, begitu juga sebaliknya. Kan yang paling nikmat emang bagian kuning telurnya yang masir, tuh!
***