Tangan kecilnya hanya mampu bertumpu pada daun pintu yang lapuk. Isak tangisnya hanya terdengar beberapa jarak. Matanya yang berlinang sejak beberapa menit lalu, merekam jejak langkah wanita kesayanganya menaiki dokar dan melambaikan kecup jemari padanya. Dari kejauhan, ia hanya sanggup memandang wanita muda itu mengusap  pipi berlesung yang berlumur air mata. Suara ringkik kuda perlahan menghilang dari pandangan, membawa kenangan pahit di hari itu, memori yang menetap setia pada bocah jelita yang belum genap usia enam.
***
Sewindu berlalu.Â
Si gadis kecil kini telah beranjak remaja belia. Cantik. Secantik wanita muda yang dulu meninggalkannya.
Ia hidup sederhana, tinggal bersama sang nenek yang menyayanginya dengan setulus hati. Ketulusan yang hadir dari segenap jiwanya yang tak turut menua. Meski tubuh renta, namun kekuatan cinta dan kasih sayang untuk cucunya tiada habis ditelan masa. Nenek berusaha menanamkan rasa bahagia dalam tumbuh kembang keseharian cucu satu-satunya. Tapi manalah ia tahu isi hati remaja belia yang selalu dijaganya dari kesedihan.
"Jadi, hingga kini kau belum pernah jumpa lagi dengan Ibumu?" Juwita bertanya dengan nada sedikit takut, khawatir menyinggung perasaan sahabat yang duduk disebelahnya.
Hanya gelengan halus sebagai jawaban.
"Simbah apa nggak ngasih tau, tho, di mana ibumu, Rum?" Hamidah menimpal tanya.
"Simbah cuma bilang, Ibu kerja jauh dari sini. Sangat jauh." Remaja yang ditanya itu menjawab lirih, menundukkan pandangan pada sepatu butut yang dikenakannya.
"Sejauh apa?" Hamidah turut bertanya dengan nada hati-hati
"Simbah bilang, sejauh cita-cita Ibu untuk bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Simbah dan aku," lirih pula jawaban gadis itu, dengan tetap menunduk, memainkan jemarinya.
"Setiap kali Simbah memintanya pulang, meski tak harus di saat lebaran, Ibu tak pernah menyempatkan pulang," lanjutnya dengan suara tercekat. Percakapan yang sebenarnya melukai batinnya bila membicarakan soal ini.
"Ibu nggak punya rindu untukku dan Simbah," tambahnya dengan suara getir.
"Ojo ngono, Rum. Gak apik omonganmu." Hamidah menyengol lengan sahabatnya yang mulai sesegukan. Juwita mengelus punggung sahabatnya.Â
"Tumpahkan kesalmu dengan menangis. Tapi jangan keterusan. Boleh kesal, tapi jangan ngomel tentang Ibumu. Nggak baik, Rum."
Remaja jelita itu mengusap pipinya yang membasah. Diambilnya sebungkus plastik berisi tisu kering dari saku seragam sekolahnya. Ditariknya selembar dan menghapus matanya dengan kertas lembut itu. Sejurus pula mengusap lubang hidung agar ingusnya tak ikutan meler.
"Sebentar lagi jam istirahat habis. Kita siap-siap kembali ke kelas." Juwita beranjak dari tempat duduk. Menggamit tangan sahabatnya.Â
"Tahan tangismu, simpan saja buat nanti kalau mau melanjutkan sedihmu."
"Hei, Wit. Kamu kok malah ngomong gitu. Mesakno Arum tho yaaa!" Hamidah berujar sambil beranjak dan menepuk-nepuk rok biru dari debu yang menempel.
Arum, remaja belia yang belum sempurna menumpahkan rasa kecewa tentang ibunya, pasrah kembali menuju ke kelas dengan menyisakan matanya yang sembab.
***
Bilik berukuran sedang dengan perabot seadanya menemani Arum seperti biasa kala merebahkan diri menuju ke alam mimpi. Tilam beralas seprai motif batik, cukup empuk untuk berat tubuhnya yang tak terlalu gemuk. Ia sudah merapikan buku dan alat tulis usai mengerjakan PR, menatanya kembali pada sudut meja.
Namun matanya tak jua terjepejam. Pelukan guling makin erat. Seiring tumpahan tangisnya yang sengaja ia benamkan pada bantal dan guling yang setia membungkus jeritan batinnya.Â
Terngiang nasehat Simbah saat makan malam, agar ia tak membenci Ibu yang telah meninggalkan mereka berdua.
Batinnya menahan amarah dan kecewa yang teramat sangat sejak dokar itu berlalu dihadapannya. Baginya, Ibu sudah tak sayang lagi padanya.
"Mengapa ibu harus pergi? Mengapa ia tak mengajakku turut serta? Mengapa sekian lama Ibu tak pernah muncul menjenguk Simbah dan aku?" Tersendat-sendat pertanyaan itu meluncur dari bibir Arum. Ia tak tahan lagi menahan rindu yang telah membeku bertahun lamanya.
"Ibumu sedang dan masih terus berjuang di negeri orang demi kita, Nduk. Perginya juga atas restu Simbah. Dengan merantau ke negeri orang, melakukan pekerjaan yang layak dan mampu dikerjakan sesuai ketrampilan yang dimiliki, hasil jerih payahnya tak pernah luput disisihkan untuk kita. Kamu bisa terus bersekolah, kita berdua bisa makan, dan Simbah punya tambahan modal untuk berjualan meski warung kita sederhana saja, Nduk. Yang penting halal. Hasilnya sebagian Simbah tabung untuk keperluanmu kelak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Kamu 'kan tidak tahu, seperti apa dan bagaimana perjuangan Ibu dan doa yang terpanjat untukmu."
"Memangnya Ibu tak bisa bekerja di sini saja, Mbah? Agar selalu bersama, seperti kawan-kawanku lainnya." Simbah hanya berdehem saja. Ini bukanlah rengekan pertama. Sudah beribu kali terlontar, dirinya tidak ingin lagi berdebat dengan cucu kesayangannya itu.
Arum tetap tidak mengerti. Dirinya hanya punya satu keinginan, Ibu ada selalu dekat dengannya. Remaja itu menghabiskan makan malam dengan membisu.
***
Hingga tiba pada hari yang tiada diduga.
Tepat pada Upacara Hari Kemerdekaan di sekolah, Arum terpilih sebagai siswa teladan se-Kabupaten sebagaimana diumumkan oleh Kepala Sekolah. Riuh tepuk tangan dan siulan mengiringi langkahnya maju ke tengah lapangan, menerima piala dan sertifikat atas prestasinya. Arum terharu. Berkat bimbingan para guru dan dukungan sahabatnya, dirinya berhasil meraih penghargaan.
Dalam perjalanan pulang, senyum lebar ia sematkan, bersiap berbagi kegembiraan kepada Simbah. Hadiah berbalut sampul cokelat dari sekolah, akan ia buka dihadapan nenek yang disayanginya.
Memasuki halaman rumah, Arum terhenyak. Jantungnya berdegup kencang. Pintu rumah terbuka lebar dan sekira tiga-empat orang tetangga terlihat berkumpul di ruang tamu. Ada apa dengan Simbah?
Arum bergegas memasuki rumah, mengucap salam dan mendapat jawaban dari para tamu. Sejurus matanya bersirobok dengan wanita paruh baya yang hampir tak pernah ia temui di kampung ini.
"Ibumu pulang, Nduk!" Wajah sumringah salah satu tetangganya membuat wajahnya syok. Ibu?
"MasyaAllah, Arum!" Tetiba perempuan yang barusan bertatapan mata dengannya, menghambur memeluk dirinya. Arum terhuyung. Respon ia pun memeluk wanita paruh baya itu.Â
"Ya, Allah, Arum." Bisikan itu terdengar haru penuh kerinduan di telinganya. Â Sekian detik berlalu, berdua pelan-pelan melepas pelukan. Kembali mereka beradu pandang.
"Maafkan Ibu, Arum. Kali ini Ibu benar-benar pulang." Wanita yang menyebut dirinya 'Ibu' itupun tersedu sambil mengusap kedua pipi Arum dengan lembut.
"Ibu berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi. Izinkan Ibu memulai kehidupan baru bersamamu. Sungguh maafkan ibu ya, Nduk."
Arum terpaku. Sudut matanya membasah. Pandangannya kabur karena air mata. Ia tak tahu persis apa yang dirasa sekarang. Entahlah, seperti tersiram gerimis pengusir sepi.
"Sore nanti kita ke makam Bapak ya, Nduk."
Arum hanya bisa tersenyum.
***
Artikel 73 -2023
#Tulisanke-518
#CerpenAnak
#Pulpen
#SayembaraCerpen
#NulisdiKompasiana
Seorang ibu rumah tangga, Pengajar Privat dan penyuka buku.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H