Aku tak sabar lagi menemuimu di tempat kita sering menghabiskan malam. Suara tawamu yang lepas, dan cubitan mesra yang selalu mampir di lenganku. Dulu.
Cafe Romansa tetap menyimpan kenangan. Bangunannya tak berubah, hanya warna cat yang lebih lembut dan segar mengikuti  tren.   Â
Dan kini aku sudah di depan cafe. Â Â Â Â Â Melewati pintu kayu berornamen kaca tembus pandang. Mataku langsung tertuju pada meja dan kursi, tempat favorit kita dulu.Â
Kau! Di sana, telah menungguku!
Â
"Siska, sudah lama di sini?" sapaku terasa grogi, benar-benar gugup.
"Sekitar dua belas menitan saja kok," sambil berdiri menangkup tangan di dadanya, Siska menyambut dengan sekulum senyum.
"Apa kabar, Mas?" Pertanyaan dengan suara lembut itu tak pernah berubah sejak aku mengenalnya, dulu.
"Alhamdulillaah, baik," jawabku bersamaan dengan  duduk berhadapan.
"Silakan, mau pesan apa? Aku sudah." Gadis itu menyodorkan buku menu. Aku hanya bisa berdehem dan mengusir rasa kikuk dengan mencoba memilih apa yang ingin kucicipi malam ini.
Â
"Sebesar apa nyalimu untuk menemuiku, Mas? Ternyata, kau membuktikannya padaku untuk datang ke tempat ini." Duh, Siska mulai membuka percakapan tanpa basi-basi lagi.
"Aku, aku minta maaf atas kesalahanku. Membuatmu menunggu tanpa kepastian selama tiga tahun terakhir ini. Sulit bagiku menceritakannya padamu," Mataku tertuju tajam, memandangi parasnya yang masih tetap ayu.
"Sulit? Sesulit apa?" Terasa datar pertanyaan itu telontar dari bibirnya.
Aku hanya menghela napas, menyandarkan punggung, memainkan jemariku.
"Maafkan aku, Sayang." Kata itu yang bisa terucap dari bibirku dengan perasaan bersalah. Berbarengan dengan tertahannya semburan tawa kecil dari gadis dihadapanku itu.