"Sayang? Gak salah ucap, tuh?" sindir Siska.
Dan, "Aku nggak mau ribet dan lama-lama mengurai tentang hubungan kita yang sudah kuanggap tak lagi ada, Mas." Kini wanita ayu itu memandangku serius.
"Cukup sudah tiga tahun ini aku bagai layangan putus, tak tahu harus bagaimana tanpamu yang menghilang tanpa kabar. Dan tetiba dua pekan lalu kau berkabar untuk menemuiku. Semudah itu? Kau pikir? Kau ...?"
"Maafkan aku, Siska." Aku meraih tangannya mencoba menggenggam. Hei, dia menepisnya!
"Sudah. Sudah lama aku memaafkan dirimu. Juga memaafkan ketololanku, yang terlalu berharap dengan dirimu. Tapi nyatanya?"
Aku tak berani menatap Siska.
"Kau tahu, aku hampir ambruk. Untung datang Pras, kalau tidak ...?"
"Pras?"
***
Hari ini aku berangkat. Tapi kini meninggalkan kotamu. Aku masih menyandang ransel kecil. Puisi-puisi, ah, mungkin aku harus belajar menulis puisi.
Juga cerita. Tak banyak, hanya satu cerita. Cerita yang aku tahu dimulai dan berakhir di mana.