Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ingin Tahu "Ritual" Sebelum Menulis yang Dilakukan Para Kompasianer? Plis, Cekidot!

30 Desember 2022   18:10 Diperbarui: 30 Desember 2022   18:32 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: https://id.wikihow.com

Teringat saat mengikuti Webinar bersama Dee Lestari garapan Komunitas Penulis Mettasik, bahwa seseorang biasanya memiliki 'ritual' unik dan menarik sebelum menuangkan ide di kepala ke dalam sebuah tulisan.

Mbak Dee sendiri bilang, biasanya yang dirinya lakukan sebelum menulis -sependek ingatan saya- beliau melakukan olahraga dan meditasi.

Bagi penulis novel best seller ini, ide adalah suatu hal yang dinamis dan bergerak. Akan terwujud jika ide dieksekusi dalam sebuah karya tulisan. 

Nah, ide itu bergerak dinamis dalam pikiran kita, masa' sih yang punya badan nggak bergerak dan menggerakkan tubuhnya untuk bisa menuangkan ide yang telah menghampirinya.

Itulah sebabnya Mbak Dee hobi banget berolahraga agar ide-ide yang menghampirinya makin cemerlang, plus melakukan meditasi. 

Dengan bermeditasi, beliau merasa tenang, fokus, dan konsentrasi dengan apa yang akan dilakukan dan dituliskannya sebagai karya novel atau ketika membuat lirik lagu.

***

Saya pribadi juga memiliki 'ritual' beberapa saat sebelum menulis. Ada rasa kurang lengkap, kurang sreg, kurang tenang kalau saya belum melakukannya. Apalagi saya sedang otewe mengikuti Marathon Writing Festival bersama Komunitas Menulis Online (KMO) Chapter Jawa Timur untuk menuju karya solo dengan membuat kumpulan cerpen. Ritual ini makin saya kencengin agar ketikan jemari saya lancar jaya menuangkan ide yang muncul di kepala.

Yang pasti bukan ritual mistis dengan menyalakan lilin, bakar kemenyan, merapal jampi-jampi. Itu mah ritual ngepet, ya. Maaf, bercanda.

Pula ritual ini juga saya lakukan tiap kali mau nulis artikel di Kompasiana.

Saya menyediakan waktu menulis di pagi, siang dan sore hari, tapi tidak di waktu malam. Karena malam hari adalah jatah saya untuk baca buku, hafalan surah atau leyeh-leyeh nge-youtube.

Sebelum menulis, saya urus pekerjaan rumah tangga beres terlebih dahulu atau kegiatan belajar-mengajar privat sudah selesai. Sehingga saya tidak kepikiran tugas domestik dan amanah rutin saat tengah menulis.

Nah, agar saya makin tenang dan fokus, maka melakukan sholat sunnah Dhuha dan tilawah Al-Quran beberapa lembar, menjadi 'ritual' wajib buat saya. Barulah saya merasa ringan dan lancar menuliskan apa yang ingin saya ceritakan dalam artikel atau tulisan lain seperti puisi atau cerpen.

Karena saya yakin bahwa ide dan gagasan datangnya dari Allah SWT, berharap mendapatkan ilham yang baik untuk saya bisa menuangkan tulisan dengan hasil yang baik dan bermanfaat bagi pembaca.

Soal 'vitamin' selama menulis seperti cemilan dan minuman, tergantung persediaan yang ada di rumah saja. Ya, saya lebih sering melakukan hobi menulis di rumah daripada di tempat lainnya. Paling enak ya dasteran, silir-silir pakai kipas angin. Begitulah emak-emak!

Ternyata ritual seperti saya juga dilakoni oleh Mbak Sri Rohmatiab - Kompasianer Madiun. Bedanya, "Kebiasaan nulisku, sebelumnya harus sudah mandi dan salat. Kalau nulis habis subuh, tetap mandi dulu, salat subuh, nulis sebentar. Terus ke dapur sampai pukul 09.00. Usai urusan dapur, mandi lagi, salat Dhuha, lanjut nulis kalau tidak ada acara ke luar rumah."

Bagi Mak Sri Roh - demikian sapaan saya padanya, sebelum menulis, ia melakukan ritual layaknya orang mau berangkat kerja. Harus bersih dan dandan cantik. Cuma nggak berkerudung karena dilakukan di rumah.

"Dasteran ya?" Saya menebak.

"Dasteran iyes, ben isis (baca: supaya tidak gerah) Daster polos panjang itu, supaya kalau tetiba ada tamu datang, tinggal pakai kerudung."

Kompasianer Yuliyanti asal Klaten pun hampir sama dengan kami berdua. Sehubungan beliau bersibuk diri dengan toko material di rumah dan sebagai ibu rumah tangga, maka ia menyempatkan menyusun naskah awal di pagi hari.

"Aku sih paling ya Salat Subuh dulu. Susun 'tulisan kotor' di draft. Yang jelas, bila ada ide untuk ditulis, saya langsung nulis. Nggak ada ritual khusus." 

Lalu bagaimana dengan Mbak Hennie Triana Oberst, Kompasianer yang tinggal di Jerman? 

"Ritual apa ya? nggak ada Mbak. Biasanya saya cuma nyediain minuman aja." Jawab beliau melalui percakapan perpesanan.

"Yakin minuman doang, nggak pake ngemil indomie kuah pedas, gitu?" Pancing saya.

"Nggak Mbak," sahut beliau dengan ikon emot nyengir. "Minuman bisa beda-beda, tergantung waktu. Kalau malam biasanya teh jahe madu. Kalau siang kopi, tapi cukup 1 cangkir."

Nah, unik kan, harus sedia minuman favorit agar 'teman menulis' setia mendampingi hingga akhir dan tulisan tayang.

Bun Naz dan Mbak Prajna Dewi punya jawaban yang berbeda. Kompasianer asal Blitar dan Jakarta ini punya kebiasaan tersendiri sebelum menulis. 

Maklum, keduanya adalah seorang pendidik. Bunda Siti Nazarotin adalah Guru di tingkat sekolah dasar dan Mbak Prajna dulunya adalah seorang dosen dan kepala pendidik, meski sebentar lagi akan pensiun.

Saya membayangkan, kompasianer berdua itu pasti nggak cuma menulis di laman Kompasiana. Sebagai guru penggerak dan dosen aktif, mereka berdua pasti aktif dengan kegiatan tulis-menulis, nih.

"Biasanya kalau mau nulis, ketika terbersit ide, ya segera nulis. Nulis draft dulu, tidak harus segera tayang. Tapi kalau mood lagi bagus, juga bisa langsung tayang." Bun Naz memulai kisah 'ritual'nya.

"Kedua, ketika lihat sesuatu, misalnya pas belanja di pasar, pas ke warung, pas ada kegiatan masyarakat atau kegiatan sekolah, dan lain-lain. Ada niat mau dijadikan bahan tulisan, maka melakukan wawancara sambil ambil gambar.

"Kalau puisi, biasanya sering merupakan curahan hati saat itu. Lalu ditulis, tapi kekadang juga tayangnya tidak langsung, diendapkan dulu.

"Kalau tulisan kuliner, terkadang sengaja browsing cari resep yang lagi viral, resep yang belum pernah dipraktikkan, request-an anak, request-an teman.

"Cuma kelemahan saya itu, bisa dengan baik menulis kalau konsentrasi. Artinya nggak ada kesibukan yang menyita perhatian dan pikiran saya. Saat saya jeda nulis, berarti lagi ada kegiatan penting." Pemaparan Bun Naz bikin saya manggut-manggut.

Sebagai guru penggerak dan memegang beberapa amanah di tingkat desa, kecamatan dan komunitas, saya memahami kesibukan beliau yang padat dan luar biasa. Persiapan beliau dalam kegiatan tulis-menulis tentu dipersiapkan dengan matang.

Demikian pula dengan Mbak Prajna Dewi. Kesibukan sebagai pengajar mahasiswa, pemateri seminar parenting, dan kepala akademik, beliau punya kebiasaan unik. 

"Biasanya ide muncul karena obrolan dengan guru, anak, atau teman. Lalu setelah ada waktu, aku mulai buka-buka resource terkait topik itu. Dan mulai nulis." Jelasnya.

"Wah, ritualnya, musti ngobrol dulu ya mbak?" Penasaran saya berlanjut.

"Artikel tentang empati, (saya tulis) sehabis nonton youtube dengan NakDis  dan lanjut ngobrol," jawab beliau.

Hmm, pastinya beliau mempersiapkan bahan tulisan dengan cermat berdasarkan sumber-sumber yang beliau rangkum.

Berbeda halnya dengan Mbak Lilik Fatimah Azzahra - Fiksianer yang Keren dan Beken bagi saya, dengan artikel-artikel cerpen mistis maupun sharing kehidupannya yang inspiratif. Apa kebiasaan beliau sebelum menulis?

"Tidak ada ritual khusus, Mbakyu. Cuma semacam kebiasaan saja. Saya memilih menulis di waktu dini hari - sekitar pukul 02.00 WIB dan menyudahinya jelang Subuh.
Ritualnya paling sebelum menulis minum segelas air putih hangat untuk membersihkan pencernaan dari sisa-sisa makanan seharian. Begitu."

MasyaAllah, saya belum karuan bisa bangun dini hari dan meniatkan diri untuk menulis, lho! Kalau pun terbangun, palingan karena tak sengaja mendengar suara kendaraan atau binatang malam, atau mau buang air kecil. Habis itu juga lanjut tidur lagi.

"Lha, njenengan mulai istirahat malam begini, tidur jam berapa?" Saya kepo jadinya.

"Tidur saya dari dulu durasinya sedikit. Yang penting pulas dan berkualitas." Demikian jawab Kompasianer asal Malang ini. Sungguh mengundang rasa kagum saya kepada beliau.

Sepertinya, minum air hangat seperti beliau di jam-jam sepertiga malam bisa ditiru juga nih.

Wah, asyik juga ternyata ritual sebelum menulis pada sahabat kompasianer di atas.

***

Bagaimana dengan kebiasaan Kompasianer Pria yang sempat saya tanyakan tentang hal yang sama?

Pak Sigit Eka Pribadi, Kompasianer asal Balikpapan yang masuk Nominator Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2022 ini cuma bilang, "Nggak ada ritual, Bun. Ada ide, ya langsung nulis gitu aja.  Yang penting kalau pas kerjaan lagi nggak sibuk, saya nggak paksa diri untuk menulis."

Pak Ali Musri Syam - Penyair Kondang Kompasiana dari Balikpapan, malah balik beetanya, "Yang dimaksud ritual apa example nya?"

"Minum kopi, ngrokok dulu, me time sama burung peliharaan, harus makan indomie kuah pedes. Atau melamun di toilet," jawab saya dibarengi enotikon ketawa.

"Wow! Jadi penasaran dengan berbagai ritual di atas. Patut dicoba. Saya nggak punya ritual khusus. Malah bingung yah jawabnya. Kalau saya mengalir aja,  Bu. Biasanya ketika melihat suatu kejadian di jalan, dengar musik, lihat film, atau membaca (baru deh, menulis)." Pak Ali pun berbagi ritualnya.

Saya mengira, beliau melakukan ritual memandang langit subuh atau cakrawala memeluk senja. Mengingat beliau fiksianer yang sering mengunggah puisi dengan diksi-diksi menawan nan romantis. Ahay!

Nah, giliran saya bertanya pada Mas Widi Kurniawan, Kompasianer yang menyabet Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2022, beliau punya ritual khusus nih!

Kira-kira, begini. (Ini yang bilang Mas Widi lho, ya)

"Kalau artikelnya aktual/reportase, saya biasanya sudah ngumpulin foto duluan. Jika butuh segera di-posting karena takut basi, maka saya segera siapkan draft tulisan di google doc via HP. Saya sempatkan menulis kadang sambil naik KRL karena perjalanan sejam "kan lumayan. Setelah itu, baru di-edit lagi dengan laptop dan post ke Kompasiana." Ungkap beliau.

"Kalau artikelnya kira-kira tidak perlu terlalu segera, maka foto-foto tetap saya simpan sewaktu-waktu biar tidak lupa dengan tema atau ide yang sudah saya pikirkan. Baru kalau senggang saya bisa nulis artikelnya. Dan untuk artikel yang tidak terlalu butuh foto aktual, maka saya harus siapkan cerita yang kuat berdasarkan pengalaman yang memang sungguh-sungguh terjadi," sambung beliau melengkapi kebiasaan sebelum menulis.

Waaaah, asyik dan keren, ya. Bener-bener menyiapkan detail penulisan artikelnya. 

Terakhir, kurang lengkap rasanya kalau saya tak melempar pertanyaan yang sama ke Acek Rudy - Kompasianer Palugada yang sedang bertapa menyelesaikan novelnya.

Biarin saja dia sedang semedi, berkutat dengan diksi, kalimat dan paragraf demi menyelesaikan tantangan menyusun bab demi bab calon novelnya, saya memang berniat 'mengganggu' sejenak masa bertapanya.

"Kalau Mbak Dee 'kan olahraga, minum air putih atau kopi, terus ada meditasi juga. Kalau Acek?" Saya kepo, nih.

"M*rlb*r* dan kopi hitam!" Jawabnya dengan emoticon tertawa ngakak.

"Ealaaaah, Acek Rudy merokok, tah? Kirain enggak."

"Iya."

"Ide muncul setelah hisap- sebul -hisap -sebul yang ke berapa, tuh?" Emoticon tertawa miring saya sematkan pada pertanyaan itu.

"Satu batang, satu paragraf."

Kami berdua berbarengan nge-post ikon tawa berguling. 

"Nggak, Mbak. Biasanya kalau sudah nulis, sudah lupa semua. Udah ngalir kayak kerasukan aja, gitu. Nggak ada ritual khusus, sih. Benarnya kalau mau lebih elegan, aku duduk diam bengong. Atau jalan mutar-mutar dalam rumah, kayak di film kartun, gitu. Sampai tanahnya tergali sendiri."

Kembali ikon tertawa terpingkal tersemat.

"Pake ngisap cerutu." Saya berkomentar.

"Naah, tangan di belakang." Timpalnya.

Ternyata, beneran unik ya ritual para kompasianer sebelum menulis. Yang jawab canda, saya tertawa senang. Yang jawab serius, saya manggut-manggut setuju.

Bisa jadi, ritual sebelum menulis berubah di tahun depan. Cari model dan gaya yang lebih membuat semangat menuangkan ide yang cespleng dan artikel yang memikat AU, gitu.

Bagaimana dengan Anda, Kompasianer dan pembaca lainnya? Ritual apa yang Anda lakukan sebelum menulis? Silakan bubuhkan di kolom komentar, ya!

Selamat menyambut Tahun Baru 2023!

Selalu sehat dan senantiasa bahagia, OK?

***

Artikel 145 - 2022

#Tulisanke-445
#ArtikelHobby
#RitualSebelumMenulis
#NulisdiKompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun