Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Romantika Jalan Kaki Pada Masanya

12 Desember 2022   08:47 Diperbarui: 18 Desember 2022   19:17 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti biasa di akhir pekan, suami selalu mengingatkan untuk kami berolahraga sejenak. Jalan kaki menyusuri komplek perumahan kami, atau agak jauhan sedikit mengitari wilayah dua atau tiga Rukun Tetangga di seputar perumahan.

Saya mengiyakan saja. Meski kadang juga sempat ogah-ogahan mengingat agenda yang yang harus saya lakukan di hari itu. Namun ajakannya tentu tidak saya tolak bila waktu cukup memadai untuk melakukannya.

***

Jalan kaki menyusuri perkampungan atau wilayah seputar tempat tinggal sebenarnya sering saya alukan sejak masih kanak. Bersama keluarga, terutama Ibu, di masa itu jalan kaki adalah kegiatan rutin yang kami lalukan. 

Baik ke pasar, ke sekolah, ke koperasi dharma wanita yang ada fasilitas perpustakaannya, atau berkunjung je rumah teman, saya selalu berjalan kaki. 

Ada tersedia sepeda satu-satunya milik ibu, tapi saya tidak menggunakannya. Sejauh apapun yang sekiranya saya sanggup menempuhnya, saya lebih nyaman berjalan kaki. Itulah mengapa Ibu baru membelikan saya sepeda setelah usia SMP.

Apalagi dengan kegiatan Pramuka yang saya ikuti dari sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Kegiatan yang dilakukan dengan berjalan kaki atau napak tilas, selalu saja diadakan setiap semester.

Menyusuri kampung atau jalanan kota, menyeberangi sungai, tanah pekuburan, pematang sawah dan jalanan yang tak selalu mulus, itu kenangan yang asyik bersama kawan satu kelompok.

Dua pengalaman berkesan tentang jalan kaki di saat kegiatan Pramuka, adalah saat mengikuti latihan pekanan di sekolah dan Jamnas di Cibubur, Jakarta

Saat mengikuti pelatihan dari pagi hingga sore hari di sekolah, rupanya kegiatan berakhir hampir jelang senja. 

Sependek ingatan saya, ada sekitar 6-7 kawan yang rumahnya sejalur dengan kami sejauh 10km dari sekolah. Ya, rumah kami bukanlah di kota, sehingga harus naik angkutan umum untuk bisa kembali ke kampung kami.

Mulai dari sekolah ke alun-alun kota, kami tempuh jalan kaki sekitar 1,5km. Lama menunggu angkot yang berkenan mengangkut kami bertujuh, tak dapat jua hingga lebih dari 30 menit. Matahari sudah semakin tumbang ke ufuk barat

Akhirnya dapat juga sih angkot, tapi bukan jurusan menuju kampung kami. "Naik saja, deh. Daripada kalian kemalaman. 

Nanti turun di Pasar Bawang Klampok, ganti angkot." Akhirnya kami menurut, meski saya pribadi hanya membawa uang pas-pasan saja untuk sekali naik kendaraan umum. Tak mengapa, kami lumayan bwrdesakan dengan penumpang lain yang sudah duluan duduk.

Lumayan, 5,5km sempat tertempuh dengan kendaraan roda empat. Kami pun turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sepanjang 4,5km. Badan lelah, kaki linu pegel, tapi jiwa riang sambil ngobrol lelucon dengan kawan-kawan.

Sampai di rumah tepat adzan isya sekitar pukul 19.30an WIB saat itu, masih kena omel orangtua yang khawatir dengan keadaan kami. 

Maklum, saat itu kan belum ada gawai. Pun di rumah tak punya failitas telepon. Setelah saya jelaskan pada Ibu, barulah beliau luluh dan menyiapkan makan malam yang masih tersisa untuk saya.

Ya, pada masa itu, angkot dari kota menuju kampung hanya tersedia hingga pukul 17.30an saja. Selebihnya hanya ada bis antarkota jalur pantura. Kalaupun ada becak, tergantung si Bapak Becak, apakah mau ngantar kami genjot becak sejauh 10km?

***

Saat mengikuti kegiatan Jamnas di Cibubur Jakarta semasa saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. 

Ada agenda Mencari Jejak dengan menjawab dan mengerjakan beberapa tes di posko-posko yang ditentukan oleh Panitia. Tentu saja, dilakukan dengan berjalan kaki.

1 kelompok terdiri dari 10 anggota, dan kabupaten kami membawa 2 kelompok putri dan 2 kelompok putra.

Kami yang belum tahu sama sekali medan seperti apa yang akan ditenpuh, sudah pasti menurut sajalah dengan arahan kakak pembina.

Berbekal selembar peta dari panitia, kami tempuh perjalanan dan melalui rangkain test di posko-posko yang sudah ditentukan. Saya yang masih lugu, rasa-rasanya lihat dari peta mah deket aja ya, tibak-e ya, Allah, adoh tenan!

Badan dah sempoyongan, kaki dah merasa gempor di tengah agenda. Betapa tidak? Kami berjalan mulai jam 07.00 pagi dari tenda kelurahan per kelompok untuk berkumpul di lapangan utama, lalu bergiliran memulai perjalanan menuju titik-titik posko.

Ada lebih dari sekitar 7 posko kami jalani. Jika sigap dan tangkas menjalani test yang diberikan, maka waktu yang kami gunakan juga semakin singkat.

Tak terasa posko terakhir berhasil kami lalui setelah pukul tiga sore.  Berharap segera selesai dan menuju ke tenda kami masing-masing. Ternyata? 

Astaga! Kami harus melewati halang rintang berupa sungai kecil di sekitar Cibubur yang saat itu arusnya lumayan deras, namun masih bisa dilalui dan dijaga oleh kakak-kakak pembina.

Tibalah saat giliran saya yang sudah ringkih, ngantuk, haus dan lelah, harus menggunakan tali sling pengaman untuk bisa menyeberang dengan aman di tengah derasnya arus sungai.

Antara sadar dan tidak, saya sudah berasa basah kuyub, menyusuri sungai dengan berpegang pada tali pemandu yang membentang agar bisa sampai di tanah seberang. 

Hantaman arus membuat tubuh kecil saya terhuyung. Berusaha kuat menapak di bebatuan. Setapak demi setapak saya lalui, dan akhirnya sampai di tepi dengan tubuh menggigil.

Teman satu kelompok memapah saya. Weladhalaaaah, ternyata sungai itu terletak sekira satu kilometer tak jauh dari tenda kelurahan kami. Selama ini kami menghindari area tersebut, hanya menikmati suara genericiknya saja. Khawatir kecebur atau terpeleset.

Saking gempornya, saya langsung tergeletak tertidur di tikar tenda. Hanya berduaan dengan teman satu kelompok, saya minta izin dibantu berganti baju, lalu dioles minyak kayu putih, tertidur pulas hingga jelang maghrib. 

Jalan kaki terheboh yang saya jalani. Asli, encok, pegel, linu, komplit dah!

***

Wanginya Tanaman Daun Seledri milik warga (Dok.Pri. Siska Artati)
Wanginya Tanaman Daun Seledri milik warga (Dok.Pri. Siska Artati)

Kembali menyusuri jalanan kampung bersama suami, berolahraga sejenak menikmati udara pagi dan suasananya. Bergandengan tangan dan sesekali ngobrol ringan dengannya, meningkatkan rasa romantis di hati saya.

Rasa nyaman, aman, disayang dan perasaan bungah lainnya bila jalan kaki bergandengan tangan dengan yang tercinta. Mak nyes, semripit aliran darah kemesraan, haha!

Kalau dulu jalan kaki bareng Bapak atau Ibu untuk ke Pasar atau tilik (menjenguk) lori tebu di pabrik gula, lalu pulangnya bawa sebungkus nasi rames atau jajanan pasar. 

Bersapa dengan tetangga atau buruh pabrik yang lewat bersepeda, atau dengan satpam penjaga, dan para penjual di Pasar yang kenal dengan keluarga kami.

Pecel Karindanagn, menu sarapan favorit kami.(Dok.Pri. Siska Artati)
Pecel Karindanagn, menu sarapan favorit kami.(Dok.Pri. Siska Artati)

Kini bersama suami, jalan kaki menyusuri wilayah perumahan bersapa dengan tetangga, penjual Pencel Karindangan yang ramah melayani kami dan membawa pulang beberapa porsi, atau ngobrol sejenak dengan Pak RT yang selalu bersapa setiap kami melewati rumah beliau. 

Kadang ngobrol sejenak berkabar keadaan lingkungan, baik tentang keadaan warga, progres pembangunan masjid, dan lainnya.

Kami pun menikmati perjalanan dengan kesyahduan suara ayam berkokok, riuh rendah cuitan burung-burung di hutan kecil di atas bukit wilayah perumahan. Pula menghirup segarnya daun selederi yang tertimpa embun pagi di kebun milik warga. Harum sekali!

Jalan kaki yang mengesankan pada masanya. Semoga kami panjang umur dan sehat senantiasa, hingga kelak bisa bergandengan dengan cucu-cucu kami, bersapa dengan tetangga dan warga untuk terus menyambung silaturahim.

Semangat pagi, Pembaca sekalian.
Salam sehat dan selalu bahagia!

***

Artikel 137 - 2022
#Tulisanke-437
#DiarySiskaArtati
#RomatikaJalanKaki
#NulisdiKompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun