Mbak Widi pun menyusul duduk dekat Bapak. Jadilah beliau duduk diapit kami berdua. Tiga kursi lain di seberang meja makan, biasa di tempati Ibu, Mbak Dian dan Mbak Yuni.
Sejumput waktu jelang sarapan, aroma sedap menguar hingga ruang makan. Mbak Yuni dan Ibu terlihat keluar dari dapur yang letaknya di luar rumah induk.
Nampak ibu membawa nampan berisi tiga menu yang entah apa isinya. Sedangkan mbak Yuni membawa mangkuk besar berwarna putih dengan uap yang masih mengepul dari makanan di dalamnya.
"Waaah, cekeeer masak kecaaaap!" Aku berseru girang, ketika seluruh menu nasakan terhidang di atas meja. Amboi, sedapnya! Semua pun memasang wajah sukacita.
"Eeh, tunggu giliran, tanganmu kok yo laju ae arep njupuk dhisikan!" Mbak Yuni nempil tanganku yang bersiap menyendok ceker.
"Sabar, Nduk. Bapakmu dhisik sing mundut maem lan lauk," Ibu juga turut menegurku. Aish, beginikah jadi anak bungsu yang harus manut aturan mendapatkan giliran terakhir?
Bapak tertawa kecil. Beliau mengambil piring, menyendok nasi secukupnya, sayur sop ayam dicampurkannya, dua iris tempe goreng dan tiga ceker ayam masak kecap tersanding rapi di sisi piringnya.
Lalu ia mengambil piring di depanku, menyendokkan enam ceker, melumurinya dengan kuah saus kecap. Jemarinya membuka toples bawang goreng, menjumput dan menaburkannya di atas ceker. Beliau menyodorkan padaku.
"Wes, ndang dimaem, baca doa dulu," beliau tersenyum lebar dan terkekeh sejenak melihat ketiga kakakku sejenak melotot kepadaku. Aku tertawa menang!
Riuh rendah protes kakak-kakak perempuanku berceloteh di meja makan. Ibu ikut tertawa namun juga mewanti-wanti agar aku membantu Mbak Widi membereskan meja makan dan membilas cucian piring usai makan bersama.
Kami riang menikmati menu pagi yang ceria. Ceker ayam masak kecap adalah menu yang dinanti oleh keluarga. Masakan buatan ibu selalu sedap dan lezat.