Ahad pagi yang cerah. Sinar mentari yang hangat menyapa tubuhku dibalik selimut. Betapa ingin kunikmati rasa malas hari ini, dengan alasan bukan hari sekolah yang membuat penat keseharian.
"Dek, cepat bangun! Lelat lelet wae ning kasur. Ndang mandi-o!" Mbak Widi mengusikku dengan suara lantangnya. Ia sedang membereskan kasur-kasur di kamar kami.
"Ayo, Dek! Ra ngganggo suwe, thooo.. Ngko ra kebagian sarapan lho! Wes jam pitu iki," gerutunya keluar nyaring sembari tangannya sigap menggebah seprai, melipat selimut dan menata bantal guling.
" Hissh, ndang cepet tho, Dek!" Kini sapu lidi di tangannya melesat cepat, nyeples pahaku.
"Aduuh! Loro tho yooo," kuusap pahaku, mringis nahan pedes. Mbak Widi malah mengangkat sapu lidinya. "Arep njaluk meneh? Heh?" Ancamannya membuatku bangkit terburu dan setengah berlari meninggalkannya, segera menuju ke kamar mandi.
***
Kulihat Mbak Dian merapikan dan menyiapkan meja makan. Piring bersih bertumpuk rapi di sisi meja dengan beberapa sendok dan garpu berkumpul di atasnya.
Bergelas-gelas teh hangat, kopi susu dan air putih berderet rapi di atas nampan. Siapapun boleh minum sesuai selera hari itu. Demikianlah kebiasaan keluarga kami.
"Wes wangi, anak bapak sing ayu dewe," puji Bapak sembari mencium rambutku yang baru saja keramas dan tersisir rapi dengan hiasan jepit rambut kupu-kupu.
"Mbak, ibu masak apa?" Mbak Dian hanya mengerling padaku. "Pokok-e ora pareng rebutan," Bapak menimpali.
Mbak Widi pun menyusul duduk dekat Bapak. Jadilah beliau duduk diapit kami berdua. Tiga kursi lain di seberang meja makan, biasa di tempati Ibu, Mbak Dian dan Mbak Yuni.
Sejumput waktu jelang sarapan, aroma sedap menguar hingga ruang makan. Mbak Yuni dan Ibu terlihat keluar dari dapur yang letaknya di luar rumah induk.
Nampak ibu membawa nampan berisi tiga menu yang entah apa isinya. Sedangkan mbak Yuni membawa mangkuk besar berwarna putih dengan uap yang masih mengepul dari makanan di dalamnya.
"Waaah, cekeeer masak kecaaaap!" Aku berseru girang, ketika seluruh menu nasakan terhidang di atas meja. Amboi, sedapnya! Semua pun memasang wajah sukacita.
"Eeh, tunggu giliran, tanganmu kok yo laju ae arep njupuk dhisikan!" Mbak Yuni nempil tanganku yang bersiap menyendok ceker.
"Sabar, Nduk. Bapakmu dhisik sing mundut maem lan lauk," Ibu juga turut menegurku. Aish, beginikah jadi anak bungsu yang harus manut aturan mendapatkan giliran terakhir?
Bapak tertawa kecil. Beliau mengambil piring, menyendok nasi secukupnya, sayur sop ayam dicampurkannya, dua iris tempe goreng dan tiga ceker ayam masak kecap tersanding rapi di sisi piringnya.
Lalu ia mengambil piring di depanku, menyendokkan enam ceker, melumurinya dengan kuah saus kecap. Jemarinya membuka toples bawang goreng, menjumput dan menaburkannya di atas ceker. Beliau menyodorkan padaku.
"Wes, ndang dimaem, baca doa dulu," beliau tersenyum lebar dan terkekeh sejenak melihat ketiga kakakku sejenak melotot kepadaku. Aku tertawa menang!
Riuh rendah protes kakak-kakak perempuanku berceloteh di meja makan. Ibu ikut tertawa namun juga mewanti-wanti agar aku membantu Mbak Widi membereskan meja makan dan membilas cucian piring usai makan bersama.
Kami riang menikmati menu pagi yang ceria. Ceker ayam masak kecap adalah menu yang dinanti oleh keluarga. Masakan buatan ibu selalu sedap dan lezat.
***
Jika ibu sempat mempresto ceker ayam, sudah dipastikan tak ada tulang yang tersisa di atas piring. Semua bakal disesap dan dilumat habis di mulut kami. Paling banter tulang kaki ayam.
Pernah aku mengamati proses memasak ceker kesukaan keluarga. Ibu telaten menyiapkan bumbu berupa bawang merah, bawang putih, merica, sedikit ketumbar dan kemiri. Diuleg halus dengan cobek yang telah setia menemani hari-hari Ibu di dapur.
Sembari mentiapkan bumbu, ceker ayam di rebus hingga matang. Aroma kaldunya harum. Biasanya sebagian ibu gunakan untuk membuat sop ayam. Sebagian lagi untuk tambahan tumisan ceker.
Setelah matang dan empuk, ibu memanaskan minyak, menumis bumbu, memasukkan ceker ayam, dan membalurkan bumbu tersebut hingga meresap. Sesekali ibu menuangkan kuah kaldu.Â
Sengaja tidak membuat dalam kuah yang banyak, hanya dijadikan berupa kuah saus saja. Ibu menambahkan garam, kaldu penyedap rasa dan kecap manis secukupnya sesuai selera seluruh keluarga. Resep sederhana yang kuhafalkan cara urutan dan mengolahnya.
Ceker ayam masak kecap yang empuk dan manis gurih itu, beramai-ramai kami kulum dan lumat di lidah masing-masing. Bak berlomba menikmati cita rasa masakan ibu, satu per satu tulang belulang yang tak berdaging lagi, dilêpeh, tertumpuk di piring masing-masing.
Bunyi kêcapan lidah dan semprulan tulang mewarnai 'musik sarapan' hari itu. Meski ibu dan bapak berkali-kali mengingatkan adab makan agar tak berbunyi nyaring, namun kami seakan kompak mengabaikannya khusus untuk menikmati sajian ini.
Kami tetap saja berebut ceker ayam yang tersedia. Siapa sih yang mau menyisakan masakan ibu selezat itu. Meski hanya ceker ayam, tetaplah luar biasa! Dan, apa yang ada di dalam mangkuk putih besar itu pun, tandas!
Sarapan masih berlanjut, kami anggap ceker ayam masak kecap adalah pembuka hidangan. Tentu kami juga tak mengabaikan menu berikutnya.
Chiky, si Anabul berbulu coklat keemasan peliharaan keluarga, turut berpesta menghabiskan tulang ceker yang kusiapkan si piring miliknya.
Baca juga:Â Chiky, Momo, dan Belang: Kucing Kesayangan yang Selalu Terkenang
Menu itu tetap tersaji di rumahku maupun rumah-rumah kakak perempuanku yang telH berkeluarga. Menu turun-temurun, penuh canda dan tawa mengingat saat masih bersama Bapak dan Ibu.
We love them both, so much!
***
Selamat Hari Ayah, terkenang dengan perlakuannya yang romantis padaku!
Salam sehat dan bahagia selalu
***
Artikel 132
#Tulisanke432
#FiksiKuliner
#CekerAyamMasakKecap
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H