Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sepatu Sang Juara

27 Juli 2022   13:32 Diperbarui: 9 Agustus 2022   10:04 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: https://shopee.co.id/ikspi_masahiro_clooth

Suatu masa saat saya usia sekolah dasar, guru olahraga menyiapkan tim guna mewakili sekolah dalam rangka mengikuti Lomba Senam Pagi Indonesia. Anak-anak kelas 3, 4 dan 5 bersiap untuk mengikuti seleksi. Pak Guru akan mengambil beberapa siswa dari kelas tesebut sebagai anggota inti dan cadangan.

Teman-teman menyambut dengan antusias. Mereka berharap bakal terpilih menjadi anggota tim, termasuk saya. Pada setiap kesempatan pelajaran olahraga atau senam bersama guru dan siswa, semua bersemangat melakukan gerakan dengan mantap. Berharap, performa masing-masing anak mendapatkan perhatian dari Pak Guru agar beliau memilih kami.

Akhirnya Pak Guru mengumumkan hasil seleksi. Terpilihlah satu ketua tim dari kelas 5, sembilan anggota inti dan lima anggota cadangan, campuran dari anak-anak kelas 3 dan 4. Betapa senang rasa hati, saya masuk dalam tim inti.

"Kita akan berlatih tiga kali dalam sepekan mulai dari sekarang. Jelang lomba dilaksanakan, latihan kita tingkatkan setiap hari. Baik tim inti maupun cadangan, tetap berlatih serius, ya!" Pak Tarmudi tersenyum memberikan semangat kepada kami yang berdiri rapi di halaman sekolah.

"Nanti siang kita mulai latihan, silakan masuk kelas masing-masing." Kami pun bubar jalan dan bersorak riang, membawa semangat itu selama pelajaran berlangsung.


***

Hari demi hari, pekan demi pekan, kami melakukan latihan senam dengan antusias. Tak hanya Pak Tarmudi selaku guru olahraga saja yang mendampingi proses ini, ada Pak Soemardi selaku Guru  IPS dan sekaligus pembina Pramuka juga turut membantu mengawasi dan menyemangati kami.

Pak Tarmudi mengajarkan gerakan senam dengan ritme ketukan irama yang pas. Beliau memberikan bimbingan bagaimana tangan mengayun lentur, kaki berdiri kokoh, tubuh tegap melakukan gerakan. Pak Soemardi membimbing gerakan kepala agar tidak kaku, pandangan lurus ke depan, tengadah, samping kiri dan kanan dengan gerakan yang mantap. Pasang wajah senyum dan ekspresi gembira. Sebuah kolaborasi binaan dari dua guru yang saya kagumi.

Mereka berdua dengan sabar membimbing peserta tim ditiap gerakan senam agar penampilan kami sempurna dan prima kelak di hadapan juri. Bahkan formasi tim saat masuk dan keluar lapangan, berikut salam kepada juri, beliau berdua menciptakan gerakan kreatif dan penuh semangat.

"Anak-anak, berbahagia dan berbanggalah bahwa kalian dipercaya untuk mewakili sekolah untuk mengikuti lomba ini. Jangan kecil hati bagi yang mendapat posisi cadangan. Kalian tetaplah tim yang dibutuhkan oleh kita semua di saat keadaan darurat saat teman kita tidak dalam kondisi fit di hari lomba. Tim inti tak perlu bersombong diri karena menjadi ujung tombak kelompok. Karena tanpa tim cadangan, kita tak akan solid seperti ini." Pak Tarmudi mengedarkan pandangannya kepada kami.

Saya yang masih duduk di bangku kelas 3, hanya manggut-manggut saja. Mencerna sebisa dan semampu pikiran bocah, bahwa tim itu harus kompak. Gak boleh iri satu sama lain, pokoknya harus akur. Pelajaran yang saya petik dari sebuah kegiatan yang membutuhkan keharmonisan dalam satu tim.


***

Tak terasa, perlombaan akan segera digelar satu bulan lagi. Kini tak hanya performa gerakan senam saja yang menjadi perhatian sekolah, namun juga kelengkapan atribut yang akan dikenakan. Semua harus siap sedetail mungkin. Mulai dari seragam olahraga, kaos kaki, sepatu dan aksesoris kepala. 

Apakah mau memakai pita sewarna bagi yang berambut panjang dan dikucir atau mengenakan topi dan lain sebagainya. Disinilah muncul masalah bagi saya saat pengecekan kesiapan atribut lomba.

Sepatu!

Duhai sepatu! Saya hanya punya satu untuk urusan sekolah sesuai ketentuan. Berwarna hitam, bersol karet yang lentur, memiliki kancing ceplik layaknya sepatu pantofel. Era itu disebut sepatu Big Boss, bahannya dari beludru atau canvas, yang biasanya digunakan para pemain kungfu atau wushu. Yang model laki laki tinggal pake slip on tanpa tali.

Karena digunakan setiap hari sejak kelas 2, penampakan sepatu saya sudah butut dan pudar Meski sudah dipoles dengan semir hitam, tetap saja tak bisa menutupi keadaannya yang sudah usang. Berbeda dengan milik kawan-kawan yang rerata merupakan sepatu baru yang digunakan memasuki tahun ajaran baru.

Pak Tarmudi dan Pak Soemardi memperhatikan keadaan sepatu saya. Beliau berdua menyarankan agar saya mempersiapkan sepatu terbaik. 

Terbayang wajah Ibu bakal menolak permintaan saya jika meminta beli sepatu baru. Tak mungkin. Saya paham aturan Ibu. Selagi sepatu belum menganga 'mulutnya', berarti sepatu masih bisa dipakai. Kalaupun menganga, masih bisa di lem, tindih pakai kaki meja makan sampai lem kering dan menempel kuat.

"Ngapain harus sepatu baru! Senam itu yang dinilai juri adalah gerakan tahap per tahap sesuai aturannya, kekompakan kelompok dan hentakan sesuai irama dengan harmonis. Bukan sepatunya yang dinilai." Ibu benar-benar tak mengijinkan untuk beli sepatu baru.
Saya sedih, masa sih untuk beli sepatu baru, bapak dan ibu gak punya uang?


***

Semangat latihan pun menurun gara-gara sepatu. Saya tetap berlatih bersama kawan-kawan, tapi pikiran tak tenang. Kawan se-tim menyarankan untuk pinjam sepatu kawan lain, tapi tak berhasil. Selain mereka juga hanya punya satu pasang untuk sekolah, ukuran kaki saya lebih mungil dan harus diganjal kapas atau kain supaya pas. Tentu menjadi tak nyaman untuk melakukan gerakan senam.

"Apa aku mengundurkan diri saja ya?" Kegundahan tersampaikan kepada sahabat se-tim. Mereka tidak setuju karena selama ini kami sudah berlatih solid dan waktu lomba sudah semakin dekat. 

Obrolan demi obrolan, tercetuslah ide untuk mengirim surat kepada Pak Tarmudi. Saya tak berani mengutarakan langsung. Isi surat yang menyatakan bahwa saya meminta maaf, tidak memiliki sepatu terbaik untuk tampil lomba bersama tim dan mohon izin merubah formasi agar saya berada di posisi belakang agar sepatu saya nantinya tak terlihat juri, atau mengundurkan diri, diganti oleh kawan cadangan.

Surat tersebut akhirnya dibaca oleh Pak Tarmudi, dan beliau menemui saya di teras ruang guru. Sahabat mendampingi untuk menguatkan diri.

"Siska, kenapa masih mikirin sepatu?" Beliau tertawa ringan dan memegang bahu saya.

 "Tetaplah berlatih dengan semangat dan tunjukkan usaha terbaikmu. Soal sepatu nanti ada solusinya. Percaya sama Bapak. Karena selama ini kamu melakukan tugas dengan baik. Selagi sehat, kuat, ayo, dukung tim sekolah kita!" Senyum lebar dan tepukan tangan beliau di pundak membuat duka saya sejenak sirna. Meski tetap kepikiran, terus piye sepatuku?
"Ingat ya, lakukan dan tunjukkan prestasi yang terbaik!"


Kata-kata yang terngiang dan tertanam dalam pikiran, berbarengan dengan kecemasan soal sepatu.


***

Tinggal beberapa hari lomba bakal digelar. Hati saya deg-degan menanti keputusan dari sekolah. Sempat saya kena marah Ibu, gegara kirim surat kepada Pak Guru. Rupanya ibu mendengar cerita tersebut dari obrolan sesama ibu komplek perumahan.

Antara sedih dan optimis, terus berlatih dengan formasi tetap, saya berada di barisan depan.

Sore usai pulang dari sekolah madrasah, saya melihat kotak sepatu di atas meja setrika. Agak terbuka tutupnya. Saya mendekat, mencium aroma sol karet, bau sepatu baru!

Menarik nafas kuat-kuat dengan wajah tegang, saya buka. Takjub, melihat sepatu Big Boss yang bersih dan halus dengan warna hitam yang memikat, lengkap dengan sepasang kaos kaki putih terselip di samping kertas tipis pelapis.

"Pas gak sepatunya?" Saya terkejut, tetiba Ibu muncul dari belakang. 

"Jangan bikin Ibu malu lagi, ya! Rawat sepatunya dengan baik. Pakai kalau untuk lomba saja, pergi sekolah tetap pakai sepatu lama. Siapa tahu ikut lomba terus menang, maju ke tingkat lebih tinggi, gak usah ribut soal sepatu lagi." Ibu berkata tegas sembari mengelus rambut saya yang masih melongo, menuju ke dapur.

Sejurus kemudian, mulut saya menjerit kegirangan!


***

Sepedas apapun omongan ibu, tetaplah itu menjadi doa. Beruntung saya memiliki Ibu yang sayang pada anak-anak dengan caranya. Terbukti, tim kami menjadi juara di tingkat wilayah desa, naik lagi juara di tingkat kecamatan, dan juara dua tingkat kabupaten. Sepatu baru mengiringi langkah mantap saya dalam melakukan tugas terbaik menjadi anggota tim.

Seiring berjalan waktu, saya barulah paham, dibalik sukses seorang anak, ada doa orang tua yang menyertai. 

Kami menjadi juara bukan sekedar melakukan usaha terbaik, tapi ada terselip beribu doa dari orang tua dan para guru yang membimbing kami. 

Kenangan masa kanak takkan pernah pudar, meski ada canda tawa, duka dan sedih, namun memiliki hikmah yang bisa dipetik.

Tanpa kebaikan mereka yang menanamkan kebajikan dalam diri ini yang saat itu masih bocah, tak mungkin kiranya saya sesukses sekarang dalam versi kehidupan kini. 

Perlahan namun pasti, didikan mereka mewarnai karakter pergaulan saya dimanapun berada.

Lakukan yang terbaik, berikan yang terbaik, usahakan yang terbaik. Sebuah motivasi yang tertanam kuat dan sangat bernilai.

Mungkin apa yang kita minta, tak saat itu juga tersedia di depan mata. Pasti harus ada usaha dan doa agar semua bisa terwujud. Ibu tak bermaksud melukai hati saya dengan tidak membelikan sepatu baru, bukan berarti tak punya uang. 

Bisa jadi beliau melihat dan memantau seberapa tangguh saya tetap berlatih dan menunjukkan usaha terbaik.

Pak Guru tidak otoriter menyingkirkan saya sebagai anggota tim hanya karena masalah sepatu. Beliau mengajarkan untuk tetap yakin dengan usaha terbaik. Ia menanamkan keyakinan bahwa setiap masalah pasti ada solusi dengan cara dan jalan yang baik.

Saya merenung, kejadian itu mengajarkan saya untuk sabar, njaluk iku ora sak jek sak nyek langsung ono. Lakoni ae sing apik, mesthi hasile becik.

Aaah, berapapun usia saya, tetaplah anak bagi kedua orang tua dan anak didik bagi para guruku. Mereka telah tiada, tapi kebaikan filosofi hidup yang mereka tanamkan, tak kan pudar di telan masa.

Ya, perubahan itu pasti, kebajikan itu harga mati. Berubah menjadi pribadi lebih baik dan terus menebar kebajikan.

Terima kasih ibu, bapak, dan guru.
Ajaran kebaikanmu mengalir abadi sedari dulu, kini dan nanti


***
Artikel 84 - 2022

Tulisanke-384
#BlogCompetitionMettasik

#KebajikanMettasik
#MaybankFinance
#KomunitasPenulisMettasik
#DiarySiskaArtati
#NulisdiKompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun