"Pas gak sepatunya?" Saya terkejut, tetiba Ibu muncul dari belakang.Â
"Jangan bikin Ibu malu lagi, ya! Rawat sepatunya dengan baik. Pakai kalau untuk lomba saja, pergi sekolah tetap pakai sepatu lama. Siapa tahu ikut lomba terus menang, maju ke tingkat lebih tinggi, gak usah ribut soal sepatu lagi." Ibu berkata tegas sembari mengelus rambut saya yang masih melongo, menuju ke dapur.
Sejurus kemudian, mulut saya menjerit kegirangan!
***
Sepedas apapun omongan ibu, tetaplah itu menjadi doa. Beruntung saya memiliki Ibu yang sayang pada anak-anak dengan caranya. Terbukti, tim kami menjadi juara di tingkat wilayah desa, naik lagi juara di tingkat kecamatan, dan juara dua tingkat kabupaten. Sepatu baru mengiringi langkah mantap saya dalam melakukan tugas terbaik menjadi anggota tim.
Seiring berjalan waktu, saya barulah paham, dibalik sukses seorang anak, ada doa orang tua yang menyertai.Â
Kami menjadi juara bukan sekedar melakukan usaha terbaik, tapi ada terselip beribu doa dari orang tua dan para guru yang membimbing kami.Â
Kenangan masa kanak takkan pernah pudar, meski ada canda tawa, duka dan sedih, namun memiliki hikmah yang bisa dipetik.
Tanpa kebaikan mereka yang menanamkan kebajikan dalam diri ini yang saat itu masih bocah, tak mungkin kiranya saya sesukses sekarang dalam versi kehidupan kini.Â
Perlahan namun pasti, didikan mereka mewarnai karakter pergaulan saya dimanapun berada.
Lakukan yang terbaik, berikan yang terbaik, usahakan yang terbaik. Sebuah motivasi yang tertanam kuat dan sangat bernilai.
Mungkin apa yang kita minta, tak saat itu juga tersedia di depan mata. Pasti harus ada usaha dan doa agar semua bisa terwujud. Ibu tak bermaksud melukai hati saya dengan tidak membelikan sepatu baru, bukan berarti tak punya uang.Â
Bisa jadi beliau melihat dan memantau seberapa tangguh saya tetap berlatih dan menunjukkan usaha terbaik.