Semangat latihan pun menurun gara-gara sepatu. Saya tetap berlatih bersama kawan-kawan, tapi pikiran tak tenang. Kawan se-tim menyarankan untuk pinjam sepatu kawan lain, tapi tak berhasil. Selain mereka juga hanya punya satu pasang untuk sekolah, ukuran kaki saya lebih mungil dan harus diganjal kapas atau kain supaya pas. Tentu menjadi tak nyaman untuk melakukan gerakan senam.
"Apa aku mengundurkan diri saja ya?" Kegundahan tersampaikan kepada sahabat se-tim. Mereka tidak setuju karena selama ini kami sudah berlatih solid dan waktu lomba sudah semakin dekat.Â
Obrolan demi obrolan, tercetuslah ide untuk mengirim surat kepada Pak Tarmudi. Saya tak berani mengutarakan langsung. Isi surat yang menyatakan bahwa saya meminta maaf, tidak memiliki sepatu terbaik untuk tampil lomba bersama tim dan mohon izin merubah formasi agar saya berada di posisi belakang agar sepatu saya nantinya tak terlihat juri, atau mengundurkan diri, diganti oleh kawan cadangan.
Surat tersebut akhirnya dibaca oleh Pak Tarmudi, dan beliau menemui saya di teras ruang guru. Sahabat mendampingi untuk menguatkan diri.
"Siska, kenapa masih mikirin sepatu?" Beliau tertawa ringan dan memegang bahu saya.
 "Tetaplah berlatih dengan semangat dan tunjukkan usaha terbaikmu. Soal sepatu nanti ada solusinya. Percaya sama Bapak. Karena selama ini kamu melakukan tugas dengan baik. Selagi sehat, kuat, ayo, dukung tim sekolah kita!" Senyum lebar dan tepukan tangan beliau di pundak membuat duka saya sejenak sirna. Meski tetap kepikiran, terus piye sepatuku?
"Ingat ya, lakukan dan tunjukkan prestasi yang terbaik!"
Kata-kata yang terngiang dan tertanam dalam pikiran, berbarengan dengan kecemasan soal sepatu.
***
Tinggal beberapa hari lomba bakal digelar. Hati saya deg-degan menanti keputusan dari sekolah. Sempat saya kena marah Ibu, gegara kirim surat kepada Pak Guru. Rupanya ibu mendengar cerita tersebut dari obrolan sesama ibu komplek perumahan.
Antara sedih dan optimis, terus berlatih dengan formasi tetap, saya berada di barisan depan.
Sore usai pulang dari sekolah madrasah, saya melihat kotak sepatu di atas meja setrika. Agak terbuka tutupnya. Saya mendekat, mencium aroma sol karet, bau sepatu baru!
Menarik nafas kuat-kuat dengan wajah tegang, saya buka. Takjub, melihat sepatu Big Boss yang bersih dan halus dengan warna hitam yang memikat, lengkap dengan sepasang kaos kaki putih terselip di samping kertas tipis pelapis.