Saya yang masih duduk di bangku kelas 3, hanya manggut-manggut saja. Mencerna sebisa dan semampu pikiran bocah, bahwa tim itu harus kompak. Gak boleh iri satu sama lain, pokoknya harus akur. Pelajaran yang saya petik dari sebuah kegiatan yang membutuhkan keharmonisan dalam satu tim.
***
Tak terasa, perlombaan akan segera digelar satu bulan lagi. Kini tak hanya performa gerakan senam saja yang menjadi perhatian sekolah, namun juga kelengkapan atribut yang akan dikenakan. Semua harus siap sedetail mungkin. Mulai dari seragam olahraga, kaos kaki, sepatu dan aksesoris kepala.Â
Apakah mau memakai pita sewarna bagi yang berambut panjang dan dikucir atau mengenakan topi dan lain sebagainya. Disinilah muncul masalah bagi saya saat pengecekan kesiapan atribut lomba.
Duhai sepatu! Saya hanya punya satu untuk urusan sekolah sesuai ketentuan. Berwarna hitam, bersol karet yang lentur, memiliki kancing ceplik layaknya sepatu pantofel. Era itu disebut sepatu Big Boss, bahannya dari beludru atau canvas, yang biasanya digunakan para pemain kungfu atau wushu. Yang model laki laki tinggal pake slip on tanpa tali.
Karena digunakan setiap hari sejak kelas 2, penampakan sepatu saya sudah butut dan pudar Meski sudah dipoles dengan semir hitam, tetap saja tak bisa menutupi keadaannya yang sudah usang. Berbeda dengan milik kawan-kawan yang rerata merupakan sepatu baru yang digunakan memasuki tahun ajaran baru.
Pak Tarmudi dan Pak Soemardi memperhatikan keadaan sepatu saya. Beliau berdua menyarankan agar saya mempersiapkan sepatu terbaik.Â
Terbayang wajah Ibu bakal menolak permintaan saya jika meminta beli sepatu baru. Tak mungkin. Saya paham aturan Ibu. Selagi sepatu belum menganga 'mulutnya', berarti sepatu masih bisa dipakai. Kalaupun menganga, masih bisa di lem, tindih pakai kaki meja makan sampai lem kering dan menempel kuat.
"Ngapain harus sepatu baru! Senam itu yang dinilai juri adalah gerakan tahap per tahap sesuai aturannya, kekompakan kelompok dan hentakan sesuai irama dengan harmonis. Bukan sepatunya yang dinilai." Ibu benar-benar tak mengijinkan untuk beli sepatu baru.
Saya sedih, masa sih untuk beli sepatu baru, bapak dan ibu gak punya uang?
***