Maklum, kami hanya memiliki mesin jahit manual, bukan yang otomatis seperti mesin jahit masa kini.
Baju kurung yang kami kenakan adalah model sederhana. Blus lengan panjang dan bagian bawahnya sebatas paha. Bagian leher memang tidak berkerah, hanya berhias tali panjang untuk pemanis yang diikat di atas dada.
Kadang Ibu menjahitnya dengan model kancing bungkus 3 atau 4 buah di depan dada, mengurangi hiasan renda karena warna-warni kain baju kurung sengaja dipilih dengan corak bunga-bunga indah.
Kami pun hafal, kain songket warna apa dan ukuran mana yang cocok dikenakan oleh kami. Kain yang selalu tersimpan rapi di lemari pakaian, khusus dikenakan pada acara tertentu, seperti halnya saat berlebaran. Kain songket buatan daerah asal ibu.
Warna songketnya sangat menarik, ada merah marun, ungu semburat jingga, dengan setail warna keemasan pada sulamannya.
Tak hanya kami yang mengenakan, ibu pun memakainya hampir setiap lebaran. Menjadi ciri khas ibu yang tak meninggalkan identitasnya sebagai wanita melayu, meski hanya setahun sekali beliau berdandan secantik dan serapi mungkin di hari penuh kemenangan.
Bahkan saat keluarga kami masih lengkap ketika ayah masih ada, perhiasan emas yang biasanya tersimpan rapi di kotak perhiasan, dikeluarkan untuk kami kenakan saat berlebaran, sebagai pelengkap penampilan hari raya.
Kami memang sangat jarang mengenakan perhiasan, jadi saat berlebaran, itulah saat menggembirakan memilih perhiasan mana yang akan dikenakan esok saat idul fitri.
Eits, jangan berpikir kami pamer, ya Pembaca. Hal tersebut hanyalah tradisi keluarga kami, yang dalam keseharian memang tidak menggunakan perhiasan. Jadi ibu mengajarkan kami mengenakannya saat merayakan idul fitri saja.
Jadi, usai sholat Ied, bersilaturahim dengan tetangga, makan dan foto bersama di rumah, maka saatnya melepas perhiasan tersebut dan disimpan kembali ke kotaknya. Kelak kami mengenakannya kembali tahun depan.