***
Momo pun betah punya temen baru, kami memanggilnya Belang. Berbulu lebat dengan warna belang hitam putih, menjadi teman setia Momo. Mendengkur bersama, krungkelan saling menghangatkan di belakang kulkas.
Hingga suatu masa, saya memasuki usia remaja, kakak perempuan tertua menikah. Beliau yang sangat penyayang dengan Momo dan Belang yang telah beranak-pinak, terpaksa meninggalkan mereka untuk merantau. Kakak menitipkan Momo dan Belang kepada saya dan Ibu.
Suatu ketika, sambil meramu menu makan untuk Momo dan Belang, ibu mengajak ngobrol mereka berdua. "Laaaang, Mbak Nik sudah gak ada lho ya, dah gak ngurusuin kamu lagi. Ibu gak mau repot ngurusin kamu mandiin, nyediakan susu, beli ikan buat kamu. Nek meh lungo, yo kono lungo wae. Dolan sak karepmu yo ra popo."
Ajaib!Â
Seolah mengerti bahasa Ibu, beberapa hari kemudian, Momo dan Belang benar-benar gak pulang ke rumah!Â
Kami mencarinya sampai ke pasar terdekat dan terjauh dari rumah. Gak nemu! Saya dan ibu sedih bukan kepalang. Jadi merasa bersalah, karena obrolan begitu, eh, Belang dan Momo baper.
Ibu bahkan sempat berkirim surat kepada kakak perempuan saya itu, menyampaikan penyesalan atas obrolan dengan kucing-kucing kesayangan.
Lebih ajaib lagi!
Tiga bulan berselang dari kejadian itu, tiba-tiba Belang dan Momo muncul dari arah lapangan depan rumah, menyusuri jalanan kecil menuju teras, mengeong manja dan bergelut di kaki saya yang berteriak kegirangan menyambutnya.