Ternyata, ada gunanya juga punya persediaan genset, sehingga acara berhasil terlaksana meski dalam keadaan listrik padam.
***
Lalu, apakabar dengan kemarau?
Ah, ingatan saya melayang saat asyik bermain layangan di lapangan depan rumah. Langit yang cerah, menampakkan biru yang mempesona. Berhias pemandangan sawah bawang dan tebu di sekitarnya. Batas cakrawala membentang dengan tanaman buah lainnya yang berayun manja disapa angin semilir.
Ya, layang-layang  andalan mulai disiapkan. Mulai dari layangan berhias tokoh kartun atau wayang dengan ekor panjang di sudut segi layangan. Pula kaleng dan benang gelasan, begitu saya dan kawan-kawan menyebutnya.
Musim kemarau sungguh ditunggu dan mengasikkan. Sepulang sekolah, usai sholat dan makan siang, langsung bergegas ke tanah lapang. Tak peduli terik menyapa kening kami dan mengucurkan peluh. Hanya ada keriangan, kegirangan dan teriakan suka cita bermain layang-layang.
Jika layangan sudah membumbung tinggi, kebiasaan saya segera berteduh di bawah pohon. Kaleng kosong pengikat benang gelasan, ditindih bagian dalamnya dengan batu-batu ukuran besar. Atau diselipkan di batu-batu besar yang ada di lapangan.
Sambil tiduran di atas rumput, di bawah pohon, kepala beralaskan tangan, memandang jernihnya langit, tertawa puas melihat layang-layang menari di atas awan.
Adrenalin bisa naik nih, jika tiba-tiba ada 'layangan musuh' mendekati layangan kami. Waaah, mereka mengincar agar benang terputus, maka saya dan kawan-kawan berteriak kencang untuk menyelamatkan posisi layang-layang. Seru!
Alhasil, setiap hari main layangan, badan saya demam dan kepala pening karena tersengat matahari. Berlama-lama di bawah teriknya, membuat badan saya greges tidak karuan.Â
Empat hari tak masuk sekolah, Pak Guru bertanya tentang keadaan saya. Malu juga ya, alasan sakitnya karena bermain layang-layang!