Sewaktu menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA), saya memilih jurusan IPS. Rasanya dunia runtuh kalau enggak belajar not balok dengan serius dan kehilangan waktu dengan tidak belajar bahasa Inggris. Dua mata pelajaran favorit teratas, selain bahasa Indonesia dan pelajaran lainnya. Itulah saya di era Dilan.Â
Selama dua tahun berada di jurusan IPS, sampailah saya untuk memutuskan jurusan apa yang akan di pilih untuk melanjutkan jenjang pendidikan tinggi.
Banyak pertimbangan yang disampaikan oleh kakak dan ibu. Sebagai anak bungsu dan manut dengan biaya kuliah yang akan ditanggung oleh mereka, saya harus mendengarkan nasihat dan masukan.
"Nduk, nilai bahasa Inggris dan bahasa Jermanmu selalu bagus, hampir selalu di atas delapan. Kekuatanmu ada di situ. Kamu tuh kayak bapakmu, seneng cas-cis-cus, percaya dirimu yo tinggi. Dari kecil dulu, kamu yang lebih sering diajak bapak kalau ada tamu dari luar negeri. Telingamu sudah terlatih dan terbiasa mendengarkan bahasa asing. Kamu kan cepet nangkep pelajaran bahasa. Ibu lebih seneng kamu ambil salah satunya. Dah, di IKIP aja, terserah ambil yang mana."
Saya masih ingat debat panjang dengan ibu. Singkat cerita, saya memutuskan dan meminta restu pada beliau untuk mengambil jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Keputusan ini saya ambil dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang jurusan ini.Â
Sepertinya ibu memberi restu dengan setengah hati. Ada kekhawatiran jika saya tak bisa menyelesaikan studi di sana, lantarakan kakak laki-laki saya pernah kuliah di jurusan tersebut (dahulu namanya Publisistik), tidak menyelesaikannya karena sesuatu dan lain hal.
Akhirnya, dengan bekal diterima sebagai mahasiswa melalui jalur Penerimaan Seleksi Siswa Berpotensi (PSSB) pada jurusan Komunikasi, Ibu memberikan restu sepenuhnya dan meminta saya agar belajar sebaik-baiknya. Harapan orangtua satu-satunya sejak ayah berpulang, maka saya bertekad mempersembahkan sarjana untuk beliau.
Alhamdulillah, saya berhasil lulus dan wisuda didampingi beliau dan kakak ipar saya yang selama ini membantu biaya kuliah. Sungguh sebuah keharuan, ibu masih sehat kala itu dan saya memenuhi janji kepadanya untuk menjadi sarjana.Â
Tak dipungkiri, sebuah kebanggaan bagi orangtua bisa memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mengikuti pendidikan lebih tinggi, dengan segala biaya, usaha dan pengorbanan. Karena itulah, saya pun sempat bekerja semasa menyelesaikan studi agar bisa meringankan biaya hidup di kota rantau yang pernah saya ceritakan di sini, silakan disimak ya, pembaca.
***