Bukan Lulusan Keguruan dan Pendidikan, Kok Ngajar?
Pertanyaan tersebut sering dilontarkan oleh orangtua murid kepada saya yang anak-anaknya mengikuti les privat bahasa Inggris. Demikian juga kawan atau guru lain yang melihat aktivitas belajar-mengajar di lorong kelas, saat saya memberikan materi bersama siswa sembari menunggu salat jumat tiba di sekolah.
Ya, saya memang tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang ilmu keguruan dan ilmu pendidikan, utamanya bahasa Inggris sebagai materi ajar les saya pada anak-anak dan remaja.Â
Lalu kenapa kegiatan yang saya lakukan sekarang ini lebih pada dunia pendidikan? Apakah salah profesi? Atau salah ambil jurusan waktu kuliah?
***
Sejak masa kanak-kanak hingga remaja, kegiatan saya lebih banyak diwarnai dengan kegiatan yang berhubungan dengan kesenian. Mulai dari bernyanyi, memainkan alat musik, karawitan, sendratari, drama remaja, menggambar, baca puisi, menulis, main band, tak luput juga pramuka yang selalu saya lakukan dengan riang gembira.Â
Tak heran bila setiap kali mengisi buku album kenangan milik kawan-kawan, saya selalu menulis 'cita-cita saya menjadi "artis". Saya pun jadi sering ketawa sendiri kalau teringat masa itu.Â
Betapa tidak, jadi artis seperti Vina Panduwinata atau Tri Utami atau Ruth Sahanaya, zaman jayanya mereka yang selalu mengikui berbagai festival, bisa keluar negeri berkat hobi dan bakat dalam menyanyi. Itulah yang ada di pikiran saya, "Enak ya, nyanyi doang, asal tampil bagus dan proma, bisa ke luar negeri."
Tapi, hal itu hanyalah angan kekanakan, meski saya menyukai bidang ini. Bahkan terus berlanjut hingga masa seragam putih abu-abu. Saya pastinya harus lebih serius, ke mana melangkahkan diri guna menapak masa depan. Pengen jadi apa sih dan pengen kerja di bidang apa ya.Â
***
Sewaktu menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA), saya memilih jurusan IPS. Rasanya dunia runtuh kalau enggak belajar not balok dengan serius dan kehilangan waktu dengan tidak belajar bahasa Inggris. Dua mata pelajaran favorit teratas, selain bahasa Indonesia dan pelajaran lainnya. Itulah saya di era Dilan.Â
Selama dua tahun berada di jurusan IPS, sampailah saya untuk memutuskan jurusan apa yang akan di pilih untuk melanjutkan jenjang pendidikan tinggi.
Banyak pertimbangan yang disampaikan oleh kakak dan ibu. Sebagai anak bungsu dan manut dengan biaya kuliah yang akan ditanggung oleh mereka, saya harus mendengarkan nasihat dan masukan.
"Nduk, nilai bahasa Inggris dan bahasa Jermanmu selalu bagus, hampir selalu di atas delapan. Kekuatanmu ada di situ. Kamu tuh kayak bapakmu, seneng cas-cis-cus, percaya dirimu yo tinggi. Dari kecil dulu, kamu yang lebih sering diajak bapak kalau ada tamu dari luar negeri. Telingamu sudah terlatih dan terbiasa mendengarkan bahasa asing. Kamu kan cepet nangkep pelajaran bahasa. Ibu lebih seneng kamu ambil salah satunya. Dah, di IKIP aja, terserah ambil yang mana."
Saya masih ingat debat panjang dengan ibu. Singkat cerita, saya memutuskan dan meminta restu pada beliau untuk mengambil jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Keputusan ini saya ambil dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang jurusan ini.Â
Sepertinya ibu memberi restu dengan setengah hati. Ada kekhawatiran jika saya tak bisa menyelesaikan studi di sana, lantarakan kakak laki-laki saya pernah kuliah di jurusan tersebut (dahulu namanya Publisistik), tidak menyelesaikannya karena sesuatu dan lain hal.
Akhirnya, dengan bekal diterima sebagai mahasiswa melalui jalur Penerimaan Seleksi Siswa Berpotensi (PSSB) pada jurusan Komunikasi, Ibu memberikan restu sepenuhnya dan meminta saya agar belajar sebaik-baiknya. Harapan orangtua satu-satunya sejak ayah berpulang, maka saya bertekad mempersembahkan sarjana untuk beliau.
Alhamdulillah, saya berhasil lulus dan wisuda didampingi beliau dan kakak ipar saya yang selama ini membantu biaya kuliah. Sungguh sebuah keharuan, ibu masih sehat kala itu dan saya memenuhi janji kepadanya untuk menjadi sarjana.Â
Tak dipungkiri, sebuah kebanggaan bagi orangtua bisa memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mengikuti pendidikan lebih tinggi, dengan segala biaya, usaha dan pengorbanan. Karena itulah, saya pun sempat bekerja semasa menyelesaikan studi agar bisa meringankan biaya hidup di kota rantau yang pernah saya ceritakan di sini, silakan disimak ya, pembaca.
***
Lalu apakah saya kini bekerja di bidang komunikasi seperti humas, jurnalistik, penyiaran, dan lain-lain seperti yang biasa dilakukan oleh para lulusannya? Tidak.
Justru sekarang saya menikmati kegiatan saya dalam dunia belajar mengajar dengan ilmu komunikasi yang pernah saya pelajari, ditambah dengan pengalaman mengajar di lembaga pendidikan, mengikuti kursus bahasa asing juga pelatihan mengajar (micro teaching) dan lain sebagainya. Bahkan, kursus singkat di bidang kesekretariatan, pertambangan, magang menjadi wartawan, apapun kegiatan pembelajaran yang saya ikuti, benar-benar ilmu yang sangat bermanfaat bagi saya sebagai bunga rampai kehidupan.Â
Dengan modal pengalaman, saya bisa berbagi kisah tentang cita-cita, hal yang disuka, mau jadi apa, bakat apa yang ingin diasah, dan hal lainnya berkaitan dengan kehidupan masa depan kepada anak-anak.
Apakah saya salah jurusan? Tidak.Â
Bagi saya, apapun jurusan, fakultas, ilmu, yang kita pilih, pelajari, tekuni, tetaplah bermanfaat bagi sendi kehidupan apapun profesi kita. Bahkan menjadi ibu rumah tangga pun, tetap butuh ilmu. Apapun latar belakang pendidikan kita.
Jujur, ada yang saya sesali dan memohon ampun kepada Allah, memohon maaf kepada ibunda tercinta. Bahwa diskusi saya bersama beliau saat memutuskan mengambil jurusan komunikasi, seakan tak memperdulikan saran beliau.Â
Betapa sebenarnya cita-cita saya sudah tertera sejak dalam kandungan, demikian saya mengibaratkan. Beliau sangat tahu, mengamati, menelisik dan memahami apa bakat dan kemampuan saya agar melejit sesuai dengan modal tersebut.
 Ya, menjadi guru bahasa asing, sekaligus kini juga mengajar mengaji.
Siapa sangka, dari pekerjaan demi pekerjaan yang saya lakukan, inilah kegiatan yang sekarang masih saya jalani dengan suka cita.Â
Andai ibu masih hidup, sungguh saya ingin memeluk erat dan terus meminta ridhonya bagi saya.Â
Kini, suamilah penggantii ridho ibu atas aktivitas saya. Jikalau saya menjalani kegiatan ini, saya yakin, ini pun berkat doa-doa ibu.
Buat kawan semua yang sekarang masih terus bergelut dengan pekerjaan, tak perlu merasa bersalah hanya karena pekerjaan tak sesuai dengan latar belakang pendidikan. Semua ilmu, in syaa Allah ada manfaatnya dimanapun kita beraktivitas.Â
Buat adek-adek calon mahasiswa, bersyukurlah apabila telah diterima di perguruan tinggi pilihan kalian. Lakukan dengan sebaik mungkin dan manfaatkan waktu dengan belajar sungguh-sungguh.Â
Bagi yang belum beruntung, pun tak perlu kecewa, kesempatan masih ada tahun depan. Bekali diri dengan mengasah ketrampilan dan kemampuan yang dimiliki untuk bisa mendapatkan penghasilan, sebagai bekal hidup mandiri, selagi menunggu waktu mengikuti ujian penerimaan tahun depan.
Satu hal yang saya tekankan pada anak-anak di sela mengajar, adalah berupaya membangun perilaku yang baik dan untuk mengembangkan karakter mereka.Â
Anak-anak diajarkan untuk menghormati orang lain dan bahkan bersikap lembut terhadap hewan maupun alam. Mereka juga belajar bagaimana menjadi dermawan, welas asih, dan mempunyai empati.Â
Selain itu, anak-anak diajarkan untuk dapat mengontrol diri dan memiliki sifat keadilan. Saat mereka bergaul dan bermain dengan sesama rekannya, nasihat ini saya selipkan agar mereka tetap santun dan menjaga adab kepada orang lain. Itu lebih penting -bagi saya- daripada mikirin salah jurusan atau salah profesi, saat mereka kelak mengarungi kehidupan dengan cita-citanya nanti.
Tetap semangat berkarya dan selalu berikan yang terbaik!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H