Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Diary

Gerimis yang Tak Mau Pergi

13 Februari 2021   16:38 Diperbarui: 13 Februari 2021   16:41 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bestyaa.tumblr.com

Assalamu'alaikum, Diary.

Duhai, berapa hari lamanya aku tak menyapamu?

Sini, Ry! Kita saling menghangatkan dalam ruang rindu.

Ya, benar, kau juga merasakan dingin yang menusuk? 

Sedari pagi hingga jelang sore ini, gerimis tak mau pergi, Ry. Tak mengapa. Burung masih saja riang berceloteh menikmati rinainya. Kita nikmati saja, dengan dua cangkir teh hangat, lima mendoan dan sepiring sambal kecap untuk cocolannya, oke?

Ry, pada suatu masa kala remaja, aku punya kenangan dengan gerimis. Bahkan irama rintiknya yang mengetuk-ngetuk atap terpalnya, seakan mengikuti degup jantungku yang bermelodi riang. Kau tahu kenapa?

Begini ceritanya:

Awalnya kami berteman biasa, sejak sekolah menengah pertama. Tak kusangka, kami berlanjut pada sekolah yang sama di menengah atas. Berbeda kelas hingga kelulusan tiba, tapi kebersamaan kami bersemi menjadi lebih dari sekedar teman.

Pada suatu kala, kami bertengkar hebat. Cemburu ala remaja yang kata orang bak cinta monyet. Ah, kenapa ya dibilang cinta monyet? Entahlah. Yang pasti agak lama juga kami berbaikan kembali.

Hingga pada suatu ketika, hujan deras mengguyur sekolah saat jam pulang sekolah. Diantara kawan nekat menebus hujan, menikmati guyurannya dengan seragam sekolah, takpeduli tas dan buku di dalamnya kuyup.

Aku harus segera bergegas pulang, bis sekolah sudah menunggu di tempat biasa. Tergesa menuju ke teras depan sekolah, dan... aaah, mataku beradu pandang dengannya yang sedang menunggu abang becak menghampirinya.

"Ayo, sekalian bareng," ajaknya dengan senyum yang kurindu. Menoleh ke belakang, tak ada siapa-siapa.

"Eh, aku ngomong sama kamu. Ayo, keburu ketinggalan bis." Bujuknya.

Aku masih terkesiap. Mengajakku?

Diary, olalaaa, kami belum bermaafan. Enggan, tapi mau segera pulang. Dengan canggung, aku naik duluan ke atas becak, menyusul dia duduk di sebelahku. Ya, dimana lagi? Masa di belakang menggantikan abang becak? 

Dan sok romantis, dia menutup plastik tebal di depan kami, menjentikkan jemari ke terpal atas, "Pak, kita ke Monumen Perjuangan dulu ya, baru antar saya pulang," pintanya pada si abang dan langsung mengayuh becaknya.

Ampun, Diary.

Aku berasa takkaruan, antara kangen tapi masih marah. Antara mau memaafkan tapi gengsi. Dan, ow! Tanpa permisi ia meraih dan menggenggam jemariku. Aku sejenak tak bisa bernapas , Ry! 

"Aku minta maaf. Aku yang salah. Harusnya aku memperhatikan nasehatmu, agar aku bisa menjaga pergaulanku. Mulai saat ini, aku janji sama kamu, untuk memilih dan menyaring teman yang bisa memberikan dan membawa kebaikan padaku. Taklagi egois, taklagi berbantahan. Mau memafkan aku, kan?"

Aku hanya terdiam, Ry. Bagaimana bisa jawab, jika sekujur tubuhku masih merinding disko dengan genggaman tangannya.

"Halow? Apa kah si ceriwis masih disisiku?"

Aku beranikan diri menatap wajahnya, dia balas menatapku tajam. Aku alihkan pandangan, pada pohon-pohon dan trotoar basah sepanjang perjalanan. Sebentar lagi, tiba pada pemberhentian bis sekolah.

"Tanda diammu, kuanggap sebagai penerimaan maaf, lho ya."

Sekali lagi, aku menoleh dan menatapnya. Dan tanpa permisi, ia mengecum punggung tanganku. Ow! Aku menarik napasku lebih dalam lagi, Ry!

Eh, kau jangan ikut-ikutan beringsut gitu, dong, Ry!

Hahaha, kau lihat rona pipiku? Uhuk!

Kami pun berpisah, dalam gerimis yang takmau pergi.

Ia lambaikan tangan, kuanggukkan tanda terima kasih atas kesediannya memberikan tumpangan padaku.

Bergegas kunaiki bis sekolah. Duduk di sebelah kaca yang berembun. Melihatnya dari kejauhan, dirinya berlalu bersama Abang Becak. "Kumaafkan dirimu." Lirih berbisik bersandar pada kaca bis, kutorehkan lukisan hati di sana dengan jemari.

Berharap gerimis jangan cepat berlalu, agar lukisan itu tetap terpatri, pada hati kami yang berselaput embun bahagia masa remaja.

Diary, suatu kala, kenangan itu berlalu seiring waktu. Rasa itu (pernah) ada. Kalau pun hilang, biarlah ia di peluk oleh nostalgia.

Pamit dulu ya, Ry.

Gerimis masih bertahan, burung-burung masih beterbangan.

Biarkan mereka nikmati sejuknya alam, hingga petang menjelang.

Wassalamu'alaikum, Diary.

Titip kenangan itu padamu.

***

Gerimis tak jua usai pada suatu sore di Bukit Pinang, 13022021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun