Aku harus segera bergegas pulang, bis sekolah sudah menunggu di tempat biasa. Tergesa menuju ke teras depan sekolah, dan... aaah, mataku beradu pandang dengannya yang sedang menunggu abang becak menghampirinya.
"Ayo, sekalian bareng," ajaknya dengan senyum yang kurindu. Menoleh ke belakang, tak ada siapa-siapa.
"Eh, aku ngomong sama kamu. Ayo, keburu ketinggalan bis." Bujuknya.
Aku masih terkesiap. Mengajakku?
Diary, olalaaa, kami belum bermaafan. Enggan, tapi mau segera pulang. Dengan canggung, aku naik duluan ke atas becak, menyusul dia duduk di sebelahku. Ya, dimana lagi? Masa di belakang menggantikan abang becak?Â
Dan sok romantis, dia menutup plastik tebal di depan kami, menjentikkan jemari ke terpal atas, "Pak, kita ke Monumen Perjuangan dulu ya, baru antar saya pulang," pintanya pada si abang dan langsung mengayuh becaknya.
Ampun, Diary.
Aku berasa takkaruan, antara kangen tapi masih marah. Antara mau memaafkan tapi gengsi. Dan, ow! Tanpa permisi ia meraih dan menggenggam jemariku. Aku sejenak tak bisa bernapas , Ry!Â
"Aku minta maaf. Aku yang salah. Harusnya aku memperhatikan nasehatmu, agar aku bisa menjaga pergaulanku. Mulai saat ini, aku janji sama kamu, untuk memilih dan menyaring teman yang bisa memberikan dan membawa kebaikan padaku. Taklagi egois, taklagi berbantahan. Mau memafkan aku, kan?"
Aku hanya terdiam, Ry. Bagaimana bisa jawab, jika sekujur tubuhku masih merinding disko dengan genggaman tangannya.
"Halow? Apa kah si ceriwis masih disisiku?"