Aku beranikan diri menatap wajahnya, dia balas menatapku tajam. Aku alihkan pandangan, pada pohon-pohon dan trotoar basah sepanjang perjalanan. Sebentar lagi, tiba pada pemberhentian bis sekolah.
"Tanda diammu, kuanggap sebagai penerimaan maaf, lho ya."
Sekali lagi, aku menoleh dan menatapnya. Dan tanpa permisi, ia mengecum punggung tanganku. Ow! Aku menarik napasku lebih dalam lagi, Ry!
Eh, kau jangan ikut-ikutan beringsut gitu, dong, Ry!
Hahaha, kau lihat rona pipiku? Uhuk!
Kami pun berpisah, dalam gerimis yang takmau pergi.
Ia lambaikan tangan, kuanggukkan tanda terima kasih atas kesediannya memberikan tumpangan padaku.
Bergegas kunaiki bis sekolah. Duduk di sebelah kaca yang berembun. Melihatnya dari kejauhan, dirinya berlalu bersama Abang Becak. "Kumaafkan dirimu." Lirih berbisik bersandar pada kaca bis, kutorehkan lukisan hati di sana dengan jemari.
Berharap gerimis jangan cepat berlalu, agar lukisan itu tetap terpatri, pada hati kami yang berselaput embun bahagia masa remaja.
Diary, suatu kala, kenangan itu berlalu seiring waktu. Rasa itu (pernah) ada. Kalau pun hilang, biarlah ia di peluk oleh nostalgia.
Pamit dulu ya, Ry.