Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Fabel: Kancil Taubat

7 Januari 2021   12:11 Diperbarui: 7 Januari 2021   12:15 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: https://m.apkpure.com

Kapan terakhir kali Anda membaca buku dongeng dengan tokoh binatang sebagai pemerannya? Masih menyempatkan diri menyimak cerita fabel? Beberapa hari lalu saya mengunggah cerpen dengan tokoh kucing disini.
Nah, kali ini saya suguhkan fabel dengan tokoh berikut.

Pada suatu siang yang terik, Singa berteduh di bawah pohon yang cukup rindang. Angin semilir mengantarkan rasa kantuk padanya. Surainya berkibar mengikuti hembusan sang Bayu. Suasana lembah yang cukup sepi, menghadirkan rasa damai di hati Singa. Beberapa saat kemudian, ia tertidur. Dengkurnya teratur. Lelap.

Baru saja menikmati istirahat yang nyaman, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kehadiran Kancil di dekatnya. Dengan sok akrab, tubuhnya yang sedikit gempal dan mungil langsung menyandarkan diri ke tubuh Singa.

"Hah, kau! Mengganggu tidurku saja!"
"Maaf, kawan. Aku tak bermaksud begitu," terkekeh Kancil dengan tawa tak bersalah.
"Apa kabarmu, Singa? Tumben sendirian saja disini. Mana kawan-kawanmu yang lain?" Kancil bertanya sembari telentang memandang langit.
"Entahlah, mungkin juga sedang beristirahat di hutan sekitar lembah." Dengusnya sedikit kesal. Ia terganggu dengan kehadiran Kancil yang telah membuyarkan kantuknya.
"Hmm.." gumam Kancil tersenyum kecil.

Lengang. 

Singa kembali terkantuk-kantuk. Ia pejamkan mata, nafasnya kembali teratur, menikmati semilir udara. Ia topangkan kepala pada kakinya yang menjulur santai.

"Nga, kau lihat di atas pohon ini? Ada gong besar, tuh! Jika di pukul, bakal mendatangkan makanan ke sini. Enak, kan? Kita tak usah capek-capek berburu." Kancil menyodok-nyodok perut Singa.
"Ah, kau ini! Aku mengantuk!" Suaranya sedikit mengaung.
"Eh, tak percaya? Seharian ini kau belum makan, kan? Aku bisa mendengar suara perutmu yang bertalu." Nada suara Kancil mengejek.

"Memangnya kenapa dengan gong itu, ha?" Singa bertanya tanpa menoleh sedikitpun. Matanya masih terpejam.
"Itu gong ajaib. Jika kau pukul, maka makanan akan berdatangan padamu." Kancil bergaya dengan nada meyakinkan.

Singa tergoda, ia mendongakkan kepala. Baru disadarinya, benar ada bulatan besar kecoklatan pada dahan yang kokoh.


"Bagaimana bisa dengan memukulnya maka makanan datang kepada kita?" Singa tak begitu saja percaya omongan Kancil.
"Aku bicara begini, karena aku pernah mengalami keajaiban itu." Kancil bangun dan menggetarkan badan, membersihkan tubuhnya dari butiran debu yang menempel. 

"Kalau kau tak percaya, ya sudahlah. Lebih baik aku pergi dari sini dan memberitahu kawan lain yang mau mendapatkan keajaiban itu." Lanjutnya sembari berjalan menjauh.


"Hei, tunggu dulu!" Singa menghardik Kancil.
"Kau juga butuh makanan, kan? Kita pukul sama-sama gong-nya." Singa tertarik juga dengan ucapan Kancil.
"Gong itu bisa mendatangkan makanan jika dipukul tanpa kawan lain mengetahuinya. Kenapa? Ya, itulah rahasianya. Bersyukurlah aku memberitahumu. Makanya tadi aku kesini, berharap kau pergi dan aku saja yang memukulnya." Kancil berlagak dengan mimik sok kesal.
"Baiklah, kalau begitu kau saja yang enyah dari sini. Kau sudah menggangu tidurku, biar aku saja yang menikmati makanan itu nantinya." Singa bangkit dan mengambil kayu tak jauh dari pohon besar tempatnya berteduh.

"Oke, Singa! Selamat menikmati gong ajaib. Pukul lah saat aku benar-benar telah jauh darimu! Cukup kau bersuara menyebut namaku. Jika aku masih menyahut, jangan kau pukul gong-nya. Sekali lagi, selamat menikmati!" Kancil berlari kecil, melambai dengan senyum licik kepada Singa yang tak menyadari akal bulusnya.

Singa tak sabar, ia mulai merambah dahan terdekat untuk menggapai gong besar yang terayun perlahan. Kayu besar telah siap digenggam.


"Kancil, apakah kau dengar suaraku?" Aumannya bergaung seantero lembah.
"Ya, aku dengar. Aku belum terlalu jauh, lah!" Singa mendengar balasan Kancil lamat-lamat.


Beberapa menit jeda, "Kancil, apakah kau dengar suaraku?" Kembali suaranya mengaum.
"Masih, Nga! Kau dengar sahutanku?" Suara Kancil samar terdengar ke telinga Singa.
Tak sabar, Singa bertanya kembali sambil bersiap mengayunkan kayunya.
"Kancil, apakah kau masih dengar suaraku?" Lebih bergema dan gaungnya memantul dari ilalang di sekitarnya.
Tak terdengar suara apapun, hanya deru angin mengantarkan hembusan kuat ke pohon besar.

Singa pun segera dengan kuat memukul gong besar. 

Buuk!!

Dan, astaga!
Lebah-lebah berhambur dari sarangnya. Mereka mengamuk atas hancurnya rumah yang dihuninya beberapa pekan. Mata nyalang menatap musuh, posisi membentuk formasi, tanpa ampun langsung menyerang Singa!

Terkejut bukan kepalang, belum siap dengan keadaan yang berbalik ricuh. Singa melempar kayu, berusaha melarikan diri. Suara dengung pasukan lebah membuatnya tunggang langgang. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sejauh dia berlari, lebah menyerangnya bertubi-tubi. 

Syukurlah ia menemukan telaga, menceburkan diri sembari menahan sengatan perih

***

Tiga hari berlalu. Tubuh Singa terasa payah. Lebam hampir sekujur tubuh. Dia hanya berdiam diri di gua. Para tupai tetangganya, rajin memberikan minuman air kelapa pelepas dahaga. Harimau membawakan sejumlah daging untuk makan keperluannya menyembuhkan diri.

Saat mereka tengah berkumpul di mulut gua, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran Ular, Monyet, dan Kancil.
Harimau memamerkan taringnya. Terlihat amat kesal dengan Kancil yang telah berbuat jahat pada sahabatnya.


"Apa maumu kemari, Kancil! Teganya kau berlaku begitu pada sahabatku!" Sergahnya membuat Kancil pucat.

"Tahan amarahmu, Harimau!" Tupai tua menghadang  Harimau yang hendak mencengkram Kancil.

"Aku menemukan dia di lubang perangkap," Monyet mulai membuka cerita.
"Rupanya sejak kejadian Kancil nge-prank Singa, ia terperosok ke dalam lubang perangkap yang cukup besar di hutan. Aku mendengar suara rintihannya di suatu malam. Ternyata sudah seharian dia terperangkap. Kubantu membuka jaring-jaring di atas lubang, tapi tak kuat mengangkatnya. Untunglah, Ular datang membantu menyeretnya hingga permukaan." Monyet bercerita sambil mengunyah pisang yang dibawanya.

"Aku telah mendengar kejahilan Kancil padamu, Singa." Ular menatap tajam pada Kancil yang tertunduk malu. Singa masih terdiam menahan amarahnya.
"Maka ketika aku turun ke liang perangkap, kulilitkan tubuhku padanya. Ia merintih dan sesak napas. Terbata mengucap maaf dan berjanji tidak akan berbuat jahil." Sambungnya dengan mendesis. "Sesusai janjinya padaku, kubantu dia keluar dari liang."

Semua mata memandang Kancil. Si Gempal bertotol putih itu perlahan memberanikan diri mengangkat wajahnya.


"Maafkan aku, Singa. Aku hanya bermaksud canda saja. Kupikir gong besar itu benar-benar bisa mendatangkan makanan lezat seperti mimpiku sebelumnya. Maaf, telah membuatmu menjadi lebih gemuk sedemikian rupa gara-gara ulahku!" Masih terbata-bata, sempat-sempatnya Kancil menyindir tubuh Singa yang masih lebam. 

Ia tersentak! Singa mengaum menerjangnya dan mengunci lehernya. Kancil mencicit kesakitan. Semua memandang dengan jeri!

"Masih untung kau hidup, Kancil! Apa jadinya jika kau jadi santapan hari ini?" Singa melotot tajam.

"Aa..aampun, Sii..Singa! Min..ta..aaam..pun!" Kancil merintih.

"Cukup, Singa! Beri kesempatan dia bernafas!" Seru Monyet.

"Berjanjilah di depan kami semua, bahwa kau tak akan lagi mengulang kejahilanmu yang tidak lucu! Perbuatanmu mengibuli Singa, telah mepertaruhkan nyawanya." Tupai tua meminta tegas kepada Kancil.

Singa melepaskan cengkeramannya. Kancil bangkit perlahan. Berusaha berdiri tegak di hadapan Singa, Harimau, Ular, Monyet dan para Tupai.

"Aku berjanji, mulai saat ini aku tak akan berbuat jahil lagi. Aku minta maaf atas perbuatanku pada Singa dengan sungguh-sungguh. Beri aku kesempatan memperbaiki diri." Kancil terisak, tubuhnya bergetar. Tak tahan jua melihat lebam pada tubuh Singa.
Kancil menghampiri dan memeluk Singa. Mebelai surainya dan menumpahkan tangisnya disana.

"Baiklah, kami menjadi saksi. Jika terulang lagi, tak akan ada ampun bagimu, Kancil." Tegas suara Singa, disambut auman Harimau, desisan Ular, cuitan Tupai dan tepuk tangan Monyet.


Kancil membuktikan janjinya. 

Sejak saat itu ia belajar bahwa dirinya harus mendapatkan tiga hal: kepercayaan, cinta dan rasa hormat dari kawan-kawannya karena ucapan dan perilakunya.


****

Tema hari ke-5: Cerita Fabel
7 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun