Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cawan Kakek Tua, Segelas Teh, dan Gelang Baheula

24 Desember 2020   10:20 Diperbarui: 24 Desember 2020   10:26 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tawaran gadis muda itu tidak saya tolak. Saya manut saja. Barangkali saja keanehan warna dan rasa nyeri yang saya rasakan dikarenakan hal tak masuk akal itu.


"Jangan dilawan, ikhlas saja ya, Sis. Maksudnya, ya demikianlah bumi kalimantan. Kita hanya berusaha, berdoa, agar Allah melindungi kita." Demikian Abah menguatkan saya.


Atas permintaan Zahra, saya tidur telungkup di atas tikar dengan kepala beralas bantal.


Gadis muda itu menyentuh bagian memar, mengusap-usap, sembar lirih membaca doa. Saya berdzikir dalam hati. Gerakan usapan tangannya kadang mengambang, kadang bersentuhan dengan kulit saya. Seperti gerakan mengurut kaki dari lekukan lutut dalam hingga ke jemari kaki. Ia hentakkan tangan ke lantai berbarengan dengan dengus nafas keras, membuang hawa buruk itu ke dalam bumi.


Saya pun tak habis pikir, lagi-lagi harus mengalami hawa yang seakan mengalir, berlarian di betis, seperti ada air yang mencari jalan keluar. Aneh, tapi nyata saya rasakan, seperti saat masa kulih dulu (BACA DISINI).


Zahra melakukannya sekitar sepuluh menit. Kaki mulai terasa ringan. Saya diminta berubah posisi menjadi duduk membelakanginya.


"Mbak, sekalian saya bersihkan lambungnya, ya. Ada hawa tidak baik dari air teh yang mbak minum beberapa hari lalu, Orang yang ngasih teh tersebut hanya usil saja, menyambut 'selamat datang' nih ke Mbak." Zahra meminta saya tenang dan mengikuti sarannya. Saya hanya mengangguk.


Dengan gerakan mengurut punggung mulai dari tulang belakang bagian bawah hingga ke leher, saya langsung merasakan aliran angin di sana, mengaduk isi perut, menjalar tanpa diminta menuju kerongkongan. Saya pun howak-howek membuang angin dari mulut. Sungguh, mual yang tak diundang. Tanpa diminta, tanpa saya buat-buat.

Zahra mengejan, nafasnya tertahan, kadang ia lepaskan, seiring pergerakan naik turun mengurut punggung saya.
Hanya selang beberapa gerakan, saya muntah sejadi-jadinya. Sengaja sejak awal sudah mempersiapkan tas kresek untuk menampungnya. Tidak ada rasa perih atau nyeri layaknya sakit ulu hati. Saya hanya tidak mengerti, kenapa isi perut seakan otomatis mengalir dan termuntahkan.

Saya tetap dalam keadaan sadar dan berpikir logis. Bahkan merasakan jelas pergerakannya dari perut, naik ke kerongkongan hingga saya muntahkan. Seperti ada sesuatu yang menyuruh mereka harus pergi dari tubuh ini.


Setelah selesai, saya minum air putih hangt yang sudah disediakan dengan mengucap Basmalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun