"Apa yang dirasa?"
"Nyeri aja kalau dipakai berjalan, tapi gak sakit jika disentuh atau ditekan. Dari warnanya sih aneh, apalagi sudah hampir seminggu."
"Ya, memang aneh. Karena memar itu biasanya biru kehitaman. Ini warnanya bisa oranye begini." Zahra mengusap-usap betis saya. Ia menghela nafas.
"Mbak Siska, boleh percaya atau tidak. Demikianlah kejadian di tempat baru, ada hal-hal yang mungkin di luar nalar. Kejadiannya dimana?"
"Di Jalan Sutomo, dekat lampu merah."
Zahra memejamkan mata. "Depannya rumah kosong sebelah toko kelontong?" Ia bertanya, masih merem.
"Iya, ada rumah yang terbengkalai dekat toko, di pinggir jalan."
Zahra membuka mata. "Mbak, lebam ini asalnya dari tumpahan air cawan  yang dibawa kakek tua. Dia sedang melintas, menyeberang menuju rumah itu. Tak disangka tertabrak oleh motor, airnya terciprat ke betis mbak, cawan pun pecah. Nah, sebagian dari cawan itu menancap di tumit Mbak. Dia tidak berniat jahat, hanya kena tumpah saja."
Saya melongo, membelalakkan mata sejenak. Tak percaya.
"Abah juga merasa aneh saja, Ra. Cuma kan Abah kada' bisa jelasin, karena hanya bisa merasa hawa yang tak bagus, gitu nah. Makanya Abah ajak kesini." Abah memandang kami berdua.
"Ya, jika Mbak Siska ikhlas mau dibersihkan air yang menggumpal di betis dan dibantu dicabut pecahan cawannya, in syaa Allah, Zahra bantu sekarang."