***
Seminggu berlalu sejak kejadian, lebam akibat tumbukan motor masih melekat di betis. Saya perhatikan warnanya bukan biru atau merah layaknya luka memar. Lebih cenderung oranye kemerahan, seperti buah jeruk masak atau mangga yang ranum. Jika disentuh, tidak sakit sama sekali. Namun jika berjalan, rasanya nyeri luar biasa. Sungguh, tak masuk logika. Bahkan ketika shalat dalam posisi berdiri, saya tetap kuat. Namun tak sempurna ketika duduk diantara dua sujud atau tahiyat akhir.
Saya lihatkan keadaan tersebut kepada kakak. Beliau memanggil rekan sejawatnya di kantor, yang kami tuakan untuk meminta pendapat. Abah -demikian kami memanggil karena akrab- tercenung sejenak melihat kondisi betis saya.
"Sis, jika berkenan, Abah antar ke rumah kawan. Seorang perempuan yang in syaa Allah bisa bantu lah untuk -minimal- mengurangi lebamnya. Abah perhatikan, ini bukan lebam biasa." Nada bicaranya serius.
"Maksudnya gimana, Bah?" Saya belum paham.
"Nanti lah kita ngobrol di sana, ya. Kawan Abah perempuan, masih muda, mahasiswi. Lebih nyaman kalau diobatin sesama perempuan."
Baiklah, saya menurut.
***
Sesampai di tujuan, tak berlangsung lama, saya bertemu tuan rumah. Zahra -sebut saja demikian- mahasiswi berhijab yang 'mendiagnosa' lebam.
"Mbak Siska sudah ke dokter? Atau cuma di kasih minyak urut saja?" Ia bertanya setelah kami saling berkenalan.
"Cuma saya kasih minyak tawon, dan dipijet atau urut di bagian tumit, telapak kaki, berharap peredaran darah lancar saja."