Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

"Rindu" Membuatku Termehek-mehek (Resensi)

27 Oktober 2020   07:55 Diperbarui: 27 Oktober 2020   08:06 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
instagram.com/bukurepublika

Judul Buku: RINDU
Penulis: Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun terbit : Oktober 2014
Jumlah Halaman: 544

Sebuah novel best seller yang mengisahkan tentang perjalanan kehidupan manusia yang disertai dengan pertanyaan-pertanyaan, telah dua kali saya baca. Tetap saja menyematkan rasa trenyuh dan perenungan mendalam atas cerita para tokoh yang sedemikian apik disajikan oleh penulis.

Kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang kisah sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.

Berlatar belakang masa Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1938, menceritakan perjalanan BLITAR HOLLAND, sebuah kapal uap kargo terbesar di zaman itu yang tidak saja mengangkut komoditi perdagangan, namun juga mengangkut penumpang dengan tujuan amat khusus, yaitu berhaji menuju Makkah. Ya, kapal ini berlayar mengelilingi hampir seluruh dunia.

Bermula dari Pelabuhan Makassar dan singgah di Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang, 'Serambi Makkah' Aceh hingga tiba di Jeddah. Itu pun tak sekedar mengangkut penumpang biasa maupun jamaah. Disana ada tokoh-tokoh yang dimunculkan penulis dengan sangat kuat dan menjadi sentra kisah tentang RINDU.

Daeng Andipati - pedagang sukses di Kota Makassar. Masih muda, kaya raya, pintar dan baik hati. Ia bersekolah di Rotterdam School of Commerce. Melakukan perjalanan di kapal tersebut bersama istri, dua anak gadisnya, Elsa (15 tahun) dan Anna (9 tahun), serta Bibi Ijah, pembantu rumah yang ikut membantu sepanjang perjalanan.

Ahmad Karaeng - semua penduduk Makassar hingga Pare-Pare lebih mengenalnya dengan sebutan Gurutta. Ia merupakan ulama masyhur di zaman itu. Usinya 75 tahun. Kemana-mana menggunakan sorban putih, kemeja polos, celana kain bersahaja, dan terompah kayu. Setiap bulannya ia mengisi pengajian di Gowa, sembilan kilometer dari Makassar. Penduduk menyukai ceramahnya, karena saat menyampaikan nasehat agama, suaranya terdengar lembut nan bertenaga, lantang nan jernih.

Ambo Ule - pemuda berusia dua puluh tahun lebih. Rahang dan pipinya tegas, khas seorang pelaut Bugis yang tangguh. Tatapan matanya tajam. Ada bekas luka dikeningnya. 

Tingginya layaknya rata-rata penduduk lokal, tapi tubuhnya kekar dan gagah, dibungkus dengan kulit hitam legam karena sering terbakar sinar matahari. Dua pekan sebelumnya, ia meninggalkan pekerjaannya di kapal lain. Dengan bekal pengalaman kerja sebagai pelaut, mengantarkan dirinya melamar kerja di kapal uap ini dengan satu alasan: pergi sejauh mungkin. Semakin jauh kapal ini pergi, semakin baik bagi dirinya.

Hanya ada dua hal yang bisa membuat seorang pelaut tangguh berhenti bekerja di tempat yang dia sukai, lantas memutuskan pergi naik kapal apapun yang bisa membawa sejauh mungkin ke ujung dunia. Satu karena kebencian yang amat besar, satu lagi karena rasa cinta yang sangat dalam.

Bonda Upe - seorang keturunan etnis tionghoa, berusia empat puluh tahun-an. Kulitnya putih, parasnya cantik. Ia mengenakan kerudung berwarna cerah dalam keseharian di kapal. Bekal pengalaman mengajar mengaji di pesantren di Kota Palu, mengantarkan dirinya menjadi guru mengaji bagi anak-anak selama perjalanan ini.

Mbah Kakung dan Mbah Putri Slamet - bukanlah pasangan sepuh kebanyakan. Berusia delapanpuluh tahun, pasangan paling romantis yang pernah ada. Saat melamar dulu, Mbah Kakung ditanya oleh Ayah Mbah Putri, "Apa yang bisa kamu janjikan kepada anakku agar dia bisa bahagia selama-lamanya?" Beliau menjawab: "Bapak, aku memiliki cinta yang besar, hanya itu yang bisa aku janjikan. Dengan cinta itu aku akan memastikan, bahwa putri Bapak akan bahagia selama-lamanya."

Mbah Kakung menyatakan bahwa sejak saat mereka menikah, beliau menjanjikan untuk berangkat haji. Mengunpulkan sen demi sen, tidak peduli berapa tahun, pasti cukup. Meski pendengaran sudah berkurang, mata tak lagi awas, mereka naik haji bersama. Menatap Ka'bah. Itulah yang akan mereka lakukan sebelum maut menjemput. Bukti cinta mereka yang besar.

Bagi saya, novel ini membuat minat baca saya bertambah kepada bacaan-bacaan lain. Karena isinya sarat makna, doa dan harapan dalam menjalani kehidupan. Setiap insan memiliki kisahnya masing-masing, bukan? Demikian pula dengan tokoh-tokoh dalam RINDU ini.

Sebagaimana disampaikan di awal, kapal ini memuat pertanyaan dan berikut jawaban atas segala apa yang terjadi pada masing-masing tokoh. Jawaban atas lima pertanyaan yang muncul dalam kisah ini, seluruhnya masing-masing memiliki kata kunci, yaitu tiga bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Pahami ketiga bagian ini, pikirkan dengan baik. Semoga itu mampu memberikan lampu kecil dalam kehidupan.

Hal-hal yang membuat saya berminat membaca buku ini adalah sentuhan wejangan dan perenungan berdasarkan pada petunjuk Allah SWT yang dikemas secara apik, dituturkan dengan lembut oleh sang tokoh. Penulis sangat piawai mengalirkan narasi.

Pertanyaan yang awal mula terjawab adalah milik Bonda Upe. Masa lalu yang menjadi beban hidupnya, ia jalani tanpa ada pilihan untuk merdeka, karena merasa nasib baik tidak berpihak padanya. "Apakah Allah akan menerimanya di tanah suci? Akankah perempuan hina sepertiku berhak menginjak Tanah Suci? Apakah Allah akan menerimaku? Atau mengabaikan perempuan pendosa seperti diriku?" (hal.310)

Jawaban dan nasehat yang disampaikan oleh ulama masyhur sangatlah bijak, bisa disimak mulai halaman 311-315. Inti dari pemahaman baiknya adalah: berhenti lari dari kenyataan hidup, berhenti cemas atas penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin.
Apakah Allah akan menerima seorang pendosa atau tidak, hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa berharap dan takut. Senantiasa berharap atas ampunannya. Selalu takut atas adzabnya. Satu perbuatan baik, bisa menjadi sebab kita diampuni.

Pertanyaan kedua terlontar dari Ruben, si Bostwain, pendukung tokoh utama, tentang apa arti kebahagiaan sejati. Namun, hal ini justru menggeliatkan rasa gelisah di hati Andi - panggilan Daeng Andipati. Apakah dengan segala yang ia miliki, telah membuatnya bahagia? Sedangkan dendam kesumatnya pada seseorang telah menghinggapinya bertahun-tahun lamanya, bahkan kebenciannya makin pekat setiap harinya. Kisah hidupnya yang pilu terpaparkan di halaman 365 - 371.

"Apakah aku bahagia, Gurutta? Aku tidak tahu." (Hal.366)
"Bagaimana mungkin aku bisa naik haji dengan membawa kebencian sebesar ini? Apakah tanah suci akan menerima seorang anak yang membenci ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar aku bisa memaafkan semuanya? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah pergi?"  (Hal.371)

Jawaban dan nasehat yang disampaikan oleh laki-laki tua yang bijak di kapal tersebut, bisa disimak mulai halaman 373-377. Inti dari pemahaman baiknya adalah: "Berhenti membenci ayahmu, karena kau sedang membenci diri sendiri. Berikanlah maaf karena kau berhak atas kedamaian dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh coretan keliru, bukalah lembaran baru. Semoga kau memiliki lampu kecil di hatimu."

Pertanyaan ketiga datang dari Mbah Kakung Slamet. Sebenarnya beliau sudah tidak memiliki pertanyaan-pertanyaan lagi dalam hidupnya. Sejak ia menikah, semua seakan sudah terjawab. 

Namun, rasa duka memdalam atas berpulangnya Mbah Putri sebelum belahan jiwanya menunaikan ibadah haji bersamanya, membuatnya bertanya: "Mengapa harus sekarang? Kenapa harus ketika kami sudah sedikit lagi dari Tanah Suci. Kenapa harus diatas lautan ini. Tidak bisakah ditunda barang satu-dua bulan. Atau jika tidak bisa selama itu, bisakah ditunda hingga kami tiba di Tanah Suci, sempat bergandengan tangan melihat masjidil haram. Kenapa harus sekarang?" (Hal.469).

Jawaban dan nasehat yang disampaikan oleh lelaki tua yang disegani seluruh penumpang bisa disimak mulai halaman 469-474. Inti pemahaman baik dari rangkuman wejangannya adalah, "Kematian Mbah Putri adalah takdir dari Allah yang terbaik. Yang kedua, biarkan waktu mengobati kesedihan. Yang ketiga, melihat penjelasan ini dari kacamata yang berbeda. Semoga hal tersebut bisa dipikirkan dan membantu menghibur penat di dalam hati."

Pertanyaan berikutnya meluncur dari kisah balik kehidupan Ambo Uleng. Meskipun juga tidak ada sepotong pun pertanyaan di dalam curahan hati nya kepada Gurutta, tapi seluruh cerita yang disampaikannya adalah pertanyaan itu sendiri.

"Kalau boleh kutebak, maka pertanyaan-pertanyaan itu adalah apakah itu cinta sejati? Apakah kau besok lusa berjodoh dengan gadis itu? Apakah kau masih memiliki kesempatan?" (Hal.491)

Lagi-lagi, tausiyah bijak tentang cinta sejati, keikhlasan, keyakinan, harapan dan keinginan, memberikan kelegaan pada seseorang yang merasa sedemikian dalam terjerembab patah hati. Kalimat-kalimat yang teduh tersampaikan lengkap di halaman 491-495.

Inti dari wejangan yang mengalir dari guru yang berpengalaman tersebut, terangkum bahwa, "Jika harapan dan keinginan untuk memiliki belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri, sibukkan dengan belajar. Terus berbuat baik kepada siapapun. In syaa Allah, besok lusa, Allah sendiri yang akan menyingkapkan misteri takdirNya. Sekali kau bisa menghadapi harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apapun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya. Jika tak bisa memiliki, kelak bisa mendapat pengganti."

Pertanyaan kelima akhirnya keluar pula dari kisah perjalanan manusia di kapal ini. Pertanyaan yang datang bukan dari penumpang biasa, melainkan dari ulama masyhur. Orang yang selama ini menjadi tempat bertanya, orang yang selama ini bisa menjawab seluruh pertanyaan.

"Jika itu tidak membuat penumpang terluka, maka itu pilihan yang lebih baik." Gurutta menggeleng.
"Lebih baik apanya, Gurruta? Kita tidak bisa mengalah pada perompak itu?"
"Aku tidak ingin melihat ada yang terluka lagi, Nak." Gurutta berkata lirih.

(Dialog ini ada di hal.531).

Dengan cungkilan penjelasan dari seorang kelasi yang baru belajar agama, justru sang ulama tersadar. Betapa menyedihkan dirinya. Orang yang begitu pandai menjawab pertanyaan, sekarang bahkan tidak berani menjawab pertanyaan diri sendiri. Ia menulis tentang kemerdekaan, namun ia tidak berani melakukannya secara kongkrit. Ia selalu menghindar, lari dari pertempuran, dengan alasan ada jalan keluar yang lebih baik. 

Betapa munafik dirinya!

Untuk melawan kemungkaran butuh tiga hal. Dengan tangan, tebaskan pedang dengan penuh gagah berani. Dengan lisan, sampaikan dengan perkasa. Atau dengan benci di dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemah iman.

Pertanyaan kelima telah genap dijawab. Bukan dengan lisan atau tulisan, tapi dengan perbuatan. Ia tunaikan tugasnya malam itu sebagai ulama yang sesungguhnya, memimpin di garis terdepan melawan kezaliman dan kemungkaran. (Selengkapnya di halaman 527-540)

Hikmah yang bisa dipetik dari novel ini.
1. Setiap permasalahan yang datang, selalu ada solusi yang bisa menyelesaikannya. Dengan selalu merujuk kepada tuntunan Allah SWT dan RasulNya, in syaa Allah petunjuk dan oemecahan masalah senantiasa ada.

2. Selalu belajar dan haus ilmu dimanapun berada, kapanpun waktunya dan bagaimanapun situasi dan kondisinya. Sampaikanlah, walaupun satu ayat Demikianlah, Rasulullaah menyampaikan amanat.

Yang belum tahu belajar kepada yang sudah tahu. Bagi yang sudah tahu bisa mempertajam pengetahuannya dengan berdiskusi satu sama lain. Jangan berkecil hati jika masih faqir ilmu, masih dangkal pengetahuan. Mata air yang dangkal, tetap saja bermanfaat jika jernih dan tulus. Tetap segar airnya.

3. Kita terhubungkan bukan saja karena satu perjalanan menuju Tanah Suci. Bukan saja kita senasib berada dalam satu kapal disini. Tetapi yang penting, kita satu saudara, sesama muslim. Tidak peduli seberapa kaya kita, seberapa rupawan paras kita, seberapa tinggi kedudukan dan derajat kita. Tidak peduli di kabin kelas berapa kita sekarang tinggal di kapal ini dan seberapa banyak bekal yang dibawa. Kita semua satu, saudara muslim (hal. 55).

Di atas kapal ini, entah dia bangsawan atau hamba sahaya, entah dia kaya raya atau miskin, bekuasa atau tidak, nasibnya akan sama ketika badai datang. Tidak ada pengecualian. (Hal.99)

Saya selaku pembaca menyimpulkan bahwa dunia ini ibarat kapal. Dipenuhi oleh manusia dengan berbagai karakter dan perangainya, dengan segala apa yang disandangnya. Dengan segala harapan dan cita-citanya. 

Siapapun kita dengan latar belakang suku, agama, ras, antargolongan, kita semua sama. Makhluk ciptaan Allah yang sedang dalam perjalanan untuk kembali ke haribaanNya dengan bekal amal yang kita lakukan. Ketika hari akhir tiba dengan segala gemuruh dahsyatnya, tak ada pengecualian bagi manusia untuk menghindarinya.

Begitu juga dengan jabatan, pangkat, tugas dan kewajiban masing-masing di kapal tersbeut, adalah bentuk mini dari gambaran besar tanggung jawab kita di dunia sesuai peran kita masing-masing. Semua kelak kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah.

4. Penulis novel ini pun memberikan motivasi dan menginsipirasi saya (lagi-lagi, inilah puzzle kehidupan yang mengantarkan saya pada pelatihan kepenulisan):

"Menulis adalah salah satu cara terbaik menyebarkan pemahaman. Ketika kita bicara, hanya puluhan atau ratusan orang saja yang bisa mendengar. Kemudian hilang di telan waktu. Tapi tulisan, buku-buku, bisa di baca oleh lebih banyak lagi. Satu buku bisa dipinjam dan dibaca berkali-kali oleh orang berbeda, apalagi ribuan buku. Dan jangan lupakan, buku bisa abadi. Terus diwariskan dan dicetak kembali. Itu sangat efektif untuk membagikan pemahaman baik." (Hal.501-502).

Selamat berselancar bersama novel ini bagi yang belum membacanya. Selamat membaca ulang untuk terus mendapatkan hikmah baru di setiap paragrafnya.

****

Diambilkan dari Tugas Minat Baca milik saya sendiri, Siska Artati, pada pelatihan kepenulisan - Fast Track Very Special di Paytren Academy Batch 1 - 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun