Namun, rasa duka memdalam atas berpulangnya Mbah Putri sebelum belahan jiwanya menunaikan ibadah haji bersamanya, membuatnya bertanya: "Mengapa harus sekarang? Kenapa harus ketika kami sudah sedikit lagi dari Tanah Suci. Kenapa harus diatas lautan ini. Tidak bisakah ditunda barang satu-dua bulan. Atau jika tidak bisa selama itu, bisakah ditunda hingga kami tiba di Tanah Suci, sempat bergandengan tangan melihat masjidil haram. Kenapa harus sekarang?" (Hal.469).
Jawaban dan nasehat yang disampaikan oleh lelaki tua yang disegani seluruh penumpang bisa disimak mulai halaman 469-474. Inti pemahaman baik dari rangkuman wejangannya adalah, "Kematian Mbah Putri adalah takdir dari Allah yang terbaik. Yang kedua, biarkan waktu mengobati kesedihan. Yang ketiga, melihat penjelasan ini dari kacamata yang berbeda. Semoga hal tersebut bisa dipikirkan dan membantu menghibur penat di dalam hati."
Pertanyaan berikutnya meluncur dari kisah balik kehidupan Ambo Uleng. Meskipun juga tidak ada sepotong pun pertanyaan di dalam curahan hati nya kepada Gurutta, tapi seluruh cerita yang disampaikannya adalah pertanyaan itu sendiri.
"Kalau boleh kutebak, maka pertanyaan-pertanyaan itu adalah apakah itu cinta sejati? Apakah kau besok lusa berjodoh dengan gadis itu? Apakah kau masih memiliki kesempatan?" (Hal.491)
Lagi-lagi, tausiyah bijak tentang cinta sejati, keikhlasan, keyakinan, harapan dan keinginan, memberikan kelegaan pada seseorang yang merasa sedemikian dalam terjerembab patah hati. Kalimat-kalimat yang teduh tersampaikan lengkap di halaman 491-495.
Inti dari wejangan yang mengalir dari guru yang berpengalaman tersebut, terangkum bahwa, "Jika harapan dan keinginan untuk memiliki belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri, sibukkan dengan belajar. Terus berbuat baik kepada siapapun. In syaa Allah, besok lusa, Allah sendiri yang akan menyingkapkan misteri takdirNya. Sekali kau bisa menghadapi harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apapun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya. Jika tak bisa memiliki, kelak bisa mendapat pengganti."
Pertanyaan kelima akhirnya keluar pula dari kisah perjalanan manusia di kapal ini. Pertanyaan yang datang bukan dari penumpang biasa, melainkan dari ulama masyhur. Orang yang selama ini menjadi tempat bertanya, orang yang selama ini bisa menjawab seluruh pertanyaan.
"Jika itu tidak membuat penumpang terluka, maka itu pilihan yang lebih baik." Gurutta menggeleng.
"Lebih baik apanya, Gurruta? Kita tidak bisa mengalah pada perompak itu?"
"Aku tidak ingin melihat ada yang terluka lagi, Nak." Gurutta berkata lirih.
(Dialog ini ada di hal.531).
Dengan cungkilan penjelasan dari seorang kelasi yang baru belajar agama, justru sang ulama tersadar. Betapa menyedihkan dirinya. Orang yang begitu pandai menjawab pertanyaan, sekarang bahkan tidak berani menjawab pertanyaan diri sendiri. Ia menulis tentang kemerdekaan, namun ia tidak berani melakukannya secara kongkrit. Ia selalu menghindar, lari dari pertempuran, dengan alasan ada jalan keluar yang lebih baik.Â
Betapa munafik dirinya!
Untuk melawan kemungkaran butuh tiga hal. Dengan tangan, tebaskan pedang dengan penuh gagah berani. Dengan lisan, sampaikan dengan perkasa. Atau dengan benci di dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemah iman.