Mohon tunggu...
SISKA AMBAR
SISKA AMBAR Mohon Tunggu... Penulis - Jangan menyerah karena lelah dan patah

Aksara adalah teman saat lisan tak mampu menyuarakan rasa yang bergelora. Akun Instagram @siskaambar3

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayangan Itu Adalah Aku

2 Maret 2021   19:10 Diperbarui: 2 Maret 2021   19:41 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki kepala dua berarti membuka lembaran kisah baru. Ada masa yang kemarin baru saja terlewati. Pencarian jati diri baru saja dimulai. Ada yang sudah menemukan siapa dirinya dan harus kemana melangkah di jenjang yang baru. Namun, tak sedikit pula yang bahkan baru menyadari bahwa dirinya belum mengenal siapa dirinya sebenarnya. Apa yang dianggapnya sudah menemui titik terang justru baru saja memulai likunya. Terjalnya kehidupan baru saja akan dimulai. Pintu gerbang baru akan terbuka lengkap dengan dua sisinya. 

Satu sisi memberinya semangat hidup yang baru, tetapi di sisi lain ada yang menghambat dan menghalangi tiap langkah. Apa yang ditabur itulah yang akan dituai. Karenanya semailah selalu benih kebaikan agar suatu saat nanti ada kebaikan yang dapat dipetik juga. Tak perlu risau ataupun gelisah jika tanaman kebaikanmu belum membuahkan hasil. Tetaplah siram dan berikan pupuk terbaik untuk tanaman yang kamu simpan.

Resah menyelimuti perasaanku saat ini. Bagaimana tidak? Aku yang mengira sudah mengenal diriku seutuhnya ternyata tak benar begitu. Bahkan terkadang aku merasa asing dengan diriku sendiri. Masih dalam batasan yang sangat sempit. Ternyata aku masih terperangkap dalam ego yang besar. Tak mampu memahami siapa dan ke mana hendak kulangkahkan kaki ini saat satu rencana yang kususun berantakan. 

Tak ada persiapan. Aku mengira semuanya berjalan dengan mulus tanpa ada halangan yang berarti. Salah besar. Sekarang terasa buntu. Sampailah aku pada persimpangan jalan. Entah harus ke mana, semuanya tak menampakkan tujuan yang mereka tawarkan. Masing-masing mengarah pada satu tempat. Jika keputusanku salah sudah pasti aku akan sampai di suatu tempat yang baru. Mungkin bukan seperti apa yang tergambar dalam benakku. Dan bukan hal yang mustahil jika di tengahnya akan banyak aral yang melintang. Kuputuskan untuk diam sesaat.

Waktu terus berjalan. Padahal kemarin aku baru saja melewati kehidupan yang luar biasa. Penuh canda tawa, kebahagiaan, kebersamaan, kadang tangis dan luka menjadi bumbu kehidupan yang indah. Aku terlena karena tak mampu mempersiapkan diri untuk berbagai kondisi. Terlempar dalam kesenangan sesaat yang justru sekarang menjadi kisah semata. Pendirianku masih memberiku kekuatan untuk tetap berpijak menatap impianku. Setidaknya tak terpuruk dalam keputusasaan.

"Siapa namamu?" tanya seseorang padaku.

"Hai, kenalkan namaku Nadira Syadifa," jawabku singkat. Ia orang asing yang menyanyaiku. Mungkin ia ingin berkenalan, pikirku. Kebetulan kami sedang menunggu panggilan interview. Ia sendirian jadi mungkin ia butuh teman bercerita untuk mengurangi sedikit perasaan grogi karena menunggu panggilan.

"Lalu siapa dirimu?" lanjutnya .

"Aku ... " ucapku terhenti. Bingung harus kujawab apa pertanyaan orang itu. Kenapa aku kehilangan jawaban? Padahal harusnya dengan mudah kujelaskan siapa diriku. Tapi apa memangnya yang bisa kukenalkan. Aku menjadi berpikir.

'Aku siapa?' tanyaku dalam hati.

Sejak saat itu aku menjadi sering memikirkan siapa diriku dan apa tujuanku hidup. Mencari tahu kenapa aku ada dan untuk apa aku ada. Pertanyaan baru yang muncul di penghujung usiaku di kepala satu. Sudah lebih dari sembilan belas tahun hidup ternyata aku terbuai. Tak tahu arah. Betapa cerobohnya aku. Mengapa tak kusadari dari dulu semua itu. Biar kurumuskan langkah yang perlu kutempuh. Seberapa jauh jarak yang harus kulewati untuk mencapai citaku. Dan sekarang aku baru akan merancangnya. Memutuskan ke mana kaki ini harus mengayun mencari jawab atas tanya yang mulai menghantui.

"Aku Nadira," ucapku sambil bercermin.

"Aku Sadyfa," lanjutku sembari meneliti ujung kaki hingga ujung kepalaku. Kuamati lekat-lekat bayangan yang terbentuk di dalam cermin. Inikah aku?

" Nadira Sadyfa namaku. Lalu siapa diriku ini?" tanyaku pada cermin. Berbicara seorang diri dan tak ada yang menjawab.

Sebuah pertanyaan yang sederhana membuatku menjadi tak tenang. Padahal hanya dengan kata siapa. Aku pun tersentak.

Aku pun memulai pencarian jawaban atas pertanyaan yang terus memburuku. Panah-panah tanya melesat menghuajam tepat di jiwaku. Membuatnya tersadar dari lamunan semu. Membuka mata yang selama ini terpejam. Dan tentunya membuka pemikiran ini.

Tinggal di sebuah tempat yang indah. Mempesona dengan segala keindahan alam yang terkandung di dalamnya. Ada rasa syukur yang selalu terpanjatkan di setiap karunia. Penuh dengan harapan, angan, dan cinta. Tempat yang memberikan ketenangan jika diresapi dengan sebuah ketulusan.

"Nad, jadi apa rencanamu sekarang?" tanya ibuku.

Pertanyaan yang sudah kuduga pasti akan muncul stelah beberapa minggu aku terdiam.

"Belum tahu, Bu," jawabku jujur.

Aku memang masih ragu. Masih belum bisa menentukan arah yang harus kutempuh.

"Nadi adalah sesuatu yang luar biasa. Jalurnya berliku, tetapi tak pernah salah arah. Mengalirkan kehidupan. Tak peduli seberapa panjang jalur yang ia tempuh, ia selalu sampai pada tujuannya," ucap ibuku.

Namaku memiliki arti yang sangat luar biasa. Masih sebatas harapan dari banyak orang. Nyatanya aku sebagai si pemilik nama itu belum mampu mengubah harapan itu menjadi kenyataan. Ada rasa bersalah yang menyusup ke dalam hatiku. Apa tujuanku hidup? Dan kubuka mataku untuk meresapi semuanya.

Kupandang ke luar dan kudapati banyak hal. Ada kesederhanaan yang memancarkan kebahagiaan. Ada pula kemewahan yang berusaha menutupi kegelisahan. Ada senyum terukir dalam kebersamaan. Ada pula duka yang tersimpan rapi di balik gemerlap harta. Ada kesepian yang membungkam sebuah semangat. Gambaran hidup jelas terpampang di hadapanku. Menjawab gelisah yang menggetarkan hati. Harus ada pilihan yang ditentukan. Karena setiap pilihan menghasilkan dua sisi yang saling bertolak belakang, aku harus tepat. Tak boleh salah mengambil keputusan.

Aku kembali bercermin. Kini ku dapati sebuah bayangan tersenyum di dalamnya. Ia telah dapatkan penghapus dahaganya.

"Kamu harus jadi seseorang yang bermanfaat," ucapku pada cermin.

Bayangan itu pun tersenyum.

"Kamu harus menggunakan apa yang kamu miliki bukan hanya untuk dirimu. Kamu hidup di antara banyak orang. Hidup bersama alam. Jadi, jangan sampai egomu menghancurkan sekelilingmu. Jangan sampai ambisimu membuat orang lain  terluka," jawab bayangan dalam cermin itu.

Kini aku yang tersenyum.

"Kamu akan menggenggam tangan yang terjatuh. Menyiram harapan yang layu dan mengembangkan kembali senyum yang pudar," balasku pada cermin.

"Kamu akan mengusap air mata kesedihan mereka," sahut bayangan itu.

"Aku sudah tahu tujuanku," ucapku akhirnya.

Kini aku sudah mengetahui ke mana arah yang harus kutuju. Ada banyak tantangan yang menghadang, tetapi aku telah siap dengan itu semua. Keyakinan yang kemarin rapuh kini telah kembali kokoh. Keraguan yang kemarin melekat kini telah sirna. Namaku yang begitu luar biasa akan menjadi nyata sesuai harapnya. Dengan usaha keras dan keyakinan tiada ragu. Tak kalah oleh lelah dan tak terbuai oleh kebahagiaan semu.

Aku menatap bayangan itu yakin. Dan bayangan itu adalah aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun