Menurut teori ini, pembangunan tidak hanya sekadar meningkatkan infrastruktur, tetapi juga mencakup pemerataan akses, pengurangan ketimpangan, dan pemberdayaan masyarakat yang selama ini terpinggirkan. Dalam hal ini, perempuan memiliki perspektif unik yang sangat berharga. Pembangunan yang tidak melibatkan perempuan dalam proses perencanaan berpotensi melahirkan ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Kebijakan yang Terabaikan: Bagaimana Perempuan Dipengaruhi oleh Keputusan yang Tidak Langsung Mengarah pada Mereka
Pada umumnya, kebijakan pembangunan infrastruktur lebih fokus pada aspek fisik dan teknis---seperti pembangunan jalan, jembatan, atau jaringan listrik---dan kurang memerhatikan dampaknya terhadap perempuan, khususnya dalam konteks sosial dan ekonomi.Â
Ini terjadi karena kebanyakan kebijakan ini dipandang dari sudut pandang teknokrat, tanpa mempertimbangkan peran penting perempuan di pedesaan.
Namun, kebijakan yang kelihatannya tidak langsung berhubungan dengan perempuan bisa sangat mempengaruhi kesejahteraan mereka. Misalnya, kebijakan mengenai transportasi yang buruk dapat mengurangi akses perempuan untuk pergi ke pasar, sekolah, atau pusat layanan kesehatan.Â
Sebuah studi oleh UN Women (2019) menunjukkan bahwa di negara-negara berkembang, perempuan cenderung menghabiskan waktu lebih banyak di transportasi publik dan lebih rentan terhadap kekerasan, dibandingkan dengan laki-laki. Infrastruktur yang buruk membuat perempuan lebih terisolasi, meningkatkan ketidaksetaraan gender, dan menambah beban kerja mereka.
Pentingnya melihat kebijakan dari perspektif gender ini tidak dapat diabaikan. Pemahaman yang lebih holistik tentang bagaimana kebijakan dapat mempengaruhi perempuan akan membawa perubahan yang lebih inklusif. Tidak hanya untuk perempuan sebagai individu, tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan.
Data dan Fakta: Realitas yang Harus Dihadapi
Menurut data dari Bank Dunia (2021), perempuan di pedesaan di Indonesia menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengurus rumah tangga dan keluarga, dengan rata-rata lebih dari 7 jam sehari untuk pekerjaan domestik.Â
Ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam pembagian kerja yang membutuhkan perhatian khusus dalam kebijakan pembangunan. Infrastruktur yang efisien dan terjangkau dapat membantu mengurangi beban kerja perempuan, memberikan waktu lebih banyak untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan ekonomi yang produktif.
Sebagai contoh, dalam sektor energi, Program Listrik Desa yang digulirkan pemerintah Indonesia, jika dilihat dari perspektif gender, seharusnya tidak hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan energi dasar, tetapi juga pada bagaimana hal tersebut mempengaruhi dinamika sosial di dalam rumah tangga.Â