Mohon tunggu...
Susilawati
Susilawati Mohon Tunggu... Dosen - Penggiat Medsos. Sadar Berbangsa dan Bernegara. Jadilah pemersatu.

Penggiat Medsos. Sadar Berbangsa dan Bernegara. Jadilah pemersatu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bangsa Indonesia Jangan Menjadi Bangsa yang Tidak Bahagia

18 Oktober 2020   20:00 Diperbarui: 18 Oktober 2020   19:58 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak kurang jumlah orang baik, orang bijak, orang cerdas, orang pintar, orang peduli di negeri ini, tapi masih sulit untuk menemukan orang yang dapat menjadi tempat bersandar bagi banyak orang, apa sebabnya ?

Memasuki era reformasi dan demokrasi, dengan terpilihnya Presiden Republik Indonesia (RI) yang dipilih pertama secara langsung oleh rakyat yaitu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sudah menyelesaikan dan membuktikan dapat menunaikan tugas dengan baik di masa kepemimpinan beliau dua periode (2004-2009 dan 2009-2014).

Ada gejolak pro dan kontra dari rakyat saat itu tapi dapat dikendalikan dengan baik. Walau sebagai Presiden yang memiliki karakter strong leadership  (latar belakang militer, pergaulan luas pada level internasional serta sebagai akademisi) masih saja mendapatkan kritik dari rakyat terhadap kinerja beliau. Padahal sebagai seorang Presiden telah berupaya keras untuk menyeimbangkan semua unsur agar stabilitas negara terus terjaga baik.

Tidak dominan ke salah satu sektor saja, tetapi sebagai pemimpin yang bisa merepresentasikan sebagai pemimpin nasional (karena ada pemimpin-pemimpin daerah yang lebih spesifik memiliki tugas dan wewenang membangun daerah/wilayahnya dengan kearifan lokal masing-masing).

Presiden sebagai pemimpin tertinggi sejatinya berpikir global/deduktif, sudah memiliki jawaban/konsep terlebih dahulu yang akan dijalankan dalam  menyelesaikan isu atau persoalan-persoalan yang muncul secara nasional. Sehingga lebih mudah mengatasi, tidak memakan waktu lama  dengan pertimbangan yang matang melihat dari semua sisi.

Berbeda dengan kepemimpinan induktif, jawaban atau konsep yang muncul setelah mengidentifikasi  persoalan-persoalan yang ada kemudian baru mencari jalan keluarnya sehingga seringkali saat belum selesai teratasi sudah mendapat reaksi dari rakyat utama yang berbeda pendapat, akhirnya berujung ricuh dan memakan waktu lama karena harus menelusuri cara apa yang terbaik untuk mendapatkan jawaban.

Ini dirasakan pada kepemimpinan Bapak Jokowi sejak Tahun 2014, tidak ada yang salah pada masa demokrasi, hanya pada akhirnya menjadi kurang efektif kinerja Presiden karena terlalu banyak terjadi tarik ulur dengan aspirasi rakyat, tujuan menjadi lambat terealisasi karena ricuh.

Hal inilah yang belum dipahami banyak orang, sehingga seringkali sebuah kebijakan diambil akhirnya tidak mempertimbangkan banyak hal yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dan menghasilkan kebijakan yang kurang memenuhi rasa adil.

Pemimpin deduktif menghasilkan stabilitas,  pemimpin induktif lebih ke parsial sehingga memunculkan komplain/gejolak. Kepemimpinan deduktif lebih memberi keyakinan dapat menjalankan amanah walau tetap ada kritik dari rakyat tetapi tidak sebanyak kritikan pada kepemimpinan induktif.

Sikap waspada dan hati-hati oleh pemimpin nasional dalam hal ini Presiden sangat dituntut. Karena tanggung jawab terbesar pada Presiden untuk menjaga dan melindungi negara dan bangsanya. Mengingat sebagai negara kepulauan terbesar yang memiliki kekayaan adat/budaya/etnik dan biodiversity, butuh kepemimpinan yang tangguh dan handal.

Sadar ada penasehat Presiden, namun kata kuncinya tetap pada kearifan dan kecerdasan Presiden dalam membuat keputusan dan menghasilkan kebijakan yang tepat. Karena jika salah mengambil kebijakan maka rakyat akan khawatir dengan kepemimpinan yang demikian, tidak dapat dipercaya dalam mengelola negara, sehingga sulit mewujudkan kehidupan yang kondusif namun terdidik.

Secara umum tidak ada pemimpin yang berniat tidak baik, semua pemimpin ingin membuat anggota atau rakyatnya hidup lebih sejahtera bukan sebaliknya, jika anggota/rakyatnya dapat hidup layak maka itulah prestasi atau fungsi adanya pemimpin bagi suatu negara. 

Niat baik didukung dengan karakter tangguh, percaya diri, memiliki keyakinan kuat akan kemampuan menyelesaikan persoalan, akan memudahkan menjalankan tugas kepemimpinan. 

Di masa demokrasi ini menjadi ujian bagi para pemimpin untuk lebih sabar, kuat, bijak dan tetap bisa fokus pada amanah yang diemban karena ada 270 juta jiwa manusia yang dipertaruhkan agar kehidupan rakyat tenang, aman, nyaman, tentram dan fokus pada karya, kreatifitas serta produktif seperti harapan kita semua.

Namun yang dirasakan saat ini, sepertinya rakyat sulit untuk dikendalikan, tidak tahu apa akar persoalannya sehingga perbedaan yang ada menjadi momok bagi pihak lainnya dan sebaliknya. Mereka lupa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, walau berbeda tetap satu. Justru perbedaan itulah yang dapat menghasilkan kesamaan pikir serta dibutuhkan kerendahan hati mau duduk bersama mencari solusi. 

Apakah karena perkembangan teknologi digital yang semakin canggih membuat semua terasa hiruk pikuk, ditambah Indonesia menjalankan sistem politik demokrasi akhirnya dengan mudahnya menyampaikan pendapat tanpa lagi memandang etika, batasan untuk menghormati pendapat orang lain bahkan walau itu adalah orangtua atau tokoh yang seharusnya dihormati. 

Dengan begitu terlihat jelas bahwa bangsa ini tidak bahagia hidupnya, saat diberi kebebasan sulit mengendalikan diri sehingga banyak orang yang terluka hatinya, utama bagi para pemimpin yang juga sudah lelah menjalankan tugasnya. 

Padahal sangat banyak peluang bisa diberdayakan di era demokrasi, jika mereka mau membuka pikiran lebih luas otomatis fokus beralih dan tidak memproduksi hal-hal negatif yang menyulitkan diri sendiri dan lingkungan. 

Repotnya jika pada level elit sudah mengatur semua strategi sedemikian rupa, kemudian dirusak oleh segelintir orang yang tidak paham substansi akhirnya merobohkan semuanya menjadi kembali ke titik nol, jika terus demikian maka jelas bangsa ini adalah bukan bangsa yang bahagia.

Jika sudah demikian, kemana lagi untuk bisa mendapatkan seorang pemimpin atau tokoh sebagai perekat bangsa? Yang dengan melihatnya saja sudah memberikan aura positif dan ketenangan hati. Ekonomi memang perlu tetapi jiwa yang tenteram jauh lebih perlu, jika sudah tenteram maka dengan sendirinya memudahkan memproduksi dan menghasilkan ekonomi lebih baik. 

Kebutuhan sebagai pemimpin yang menjadi tempat bersandar dan dipercaya saat ini sulit ditemukan karena hampir semua tokoh di negeri ini sudah terkena hoax/difitnah oleh mereka yang menganggap dirinya paling benar otomatis memblack list pemimpin yang berdampak tergerusnya rasa simpati rakyat kepada pemimpin tersebut. 

Miris melihat keadaan seperti ini, nyata bahwa bangsa ini terlihat tidak bahagia. Bangsa yang lupa menikmati proses perjalanan berbangsa. Padahal jika diamati banyak peluang atau hikmah yang dapat dikembangkan, dieksplorasi dan bukan hanya menghasilkan sesuatu dalam bentuk materi tetapi juga ilmu/pengetahuan. Ilmu jauh lebih berharga daripada materi, dengan ilmu lebih kaya dan hati lebih tenang.

Sebaliknya dengan materi kadang menjadi semakin miskin hati dan tidak tenang, karena terus berpikir untuk menjaga dan menyelamatkan materi tersebut terus menerus (banyak yang sudah tahu ini, tetapi hanya orang-orang yang memiliki kebersihan hati yang mampu menjalankannya). Bangsa yang tidak bahagia jika terus dibiarkan dikhawatirkan sulit berprestasi karena hanya bisa memproduksi hal yang kontra dengan kemajuan.

Bahkan seringkali terjadi jika seseorang yang sangat keras bersuara dalam perjuangan, kemudian diakomodir dan diberikan amanah oleh yang menjadi lawan politiknya, akhirnya tidak ekstrim lagi alias menjadi diam, ternyata lebih ke  kepentingan pribadi, miris. 

Jika dulu seseorang diakomodir karena keahliannya dalam bidang tersebut (efektif) saat ini lebih kepada siapa yang paling keras berteriak (tidak efektif). Apakah dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan sehingga ini menjadi lahan baru di era demokrasi, pekerjaan di tempat wangi dan pretise serta dilihat banyak orang, penuh hormat serta mudah mendapatkannya tetapi dengan cara yang kurang pas,  hina sekali bangsa ini jika demikian.

Semoga gejolak-gejolak yang muncul tersebut selalu dapat terkendali dan hanya karena emosi sesaat, dijauhkan dari chaos yang berujung keamanan nasional terganggu. 

Harapannya pemerintahan sekarang dapat selesai hingga akhir periode jabatannya di tahun 2024 agar proses pengalihan kepemimpinan nasional dapat berjalan baik seperti saat pengalihan kepemimpinan dari Bapak SBY ke Bapak Jokowi lalu di tahun 2014, serta tidak mewariskan kepemimpinan yang membebani pemimpin berikutnya agar pemimpin berikutnya dapat menyelesaikan banyak hal, dengan demikian semakin jelas arah dan jalan mendekati tujuan bersama hidup aman nyaman damai harmoni.

Kemajuan teknologi informasi harus bisa mengubah kehidupan berbangsa menjadi lebih baik dan maju, karena manusia yang memiliki akal sehat yang mampu menterjemahkan perkembangan teknologi sebagai bahan bakar positif. 

Jika ini dapat diresapi, dimengerti dan dipahami dan dijadikan pedoman dalam perilaku maka bangsa Indonesia adalah bangsa yang bahagia, bangsa yang bahagia memiliki kehidupan yang berkualitas tinggi karena munculnya kesadaran, kepedulian untuk hidup tertib dalam bermasyarakat berbangsa.

Jakarta, 18 Oktober 2020
Dr. SusiLawati M.Han.
Wakadep Luar Negeri dan Keamanan Nasional DPP PD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun