Mohon tunggu...
Ishak R. Boufakar
Ishak R. Boufakar Mohon Tunggu... Pegiat Literasi -PI -

Pegiat Literasi Paradigma Institute Makassar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Natal Berdarah

25 Desember 2016   23:26 Diperbarui: 25 Desember 2016   23:56 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: herizalalwi.blogspot.com

Awan Desember meriung di langit kota Ambon. Di sana-sini derau trompet berkelabat, tatkala di altar, riuh pujian Natal menggema laksana gemuruh hujan tersibak dari awan mendung.

Dua puluh satu tahun silam. Kota kita tak lagi bergeming melumat darah ataupun air mata. Begitupun orang-orang kita, telah lelah melacur dengan Tuhan, perihal surga. Atau, benar, dan salah, pikirku.

Seperti biasa, kusempatkan diri menyapamu. Kuziarahi pusaramu di hari Natal. Barangkali, hari ini kita leluasa membunuh waktu. Sungguh, diriku begitu ringkih dalam hamparan pusara, yang ditumbuhi alang-alang dan pohon kamboja. Kutergugah, tergeming di pusaramu. Wajahku kian rusuh. Tak terasa, air mataku jatuh, luruh satu demi satu. Tangisanku keras, bertambah deras buyar air mataku. Nanar, begitu kutatap nisanmu. Kau pasti menertawaku, Alex?

“Semoga kau selalu tersenyum di alam sana, di sampingNya, Alex”.

“Ayo bicaralah!”

“Apa kau marah padaku, Alex?”

***

Masih lekat dalam ingatan, bak imaji kala perawan. Bulan Desember di tahun 1999. Pohon-pohon Natal masih menumpahkan air sedapannya. Embun masih berseliweran di tiang-tiang salib, di sepanjang mukim Kuda Mati.

Pagi-pagi sekali. Kau datang tergopoh-gopoh, berdiri di ambang bilik, mengetuk pintu kamar yang kutempati semalam. Dan, bukan kalipertama, kutempati kamar itu. Tiga tahun silam, kutahu dari opaku, bahwa kita pela—bersaudara, kamar itu telah menjadi miliku, bahkan bukan pada hari Natal.

“Boleh beta masuk?” pintamu. Aku hanya mengangguk, mempersilahkanmu masuk. Sungguh, kali ini kudapati dirimu begitu ringkih dalam hamparan duri. Kau tampak letih

“Alex!” pekikku. Kau terdiam seribu bahasa. Wajahmu kian kisruh. Entah gerangan apa yang membuat tatapan dan mulutmu tak sepaham sejalan? Kau begitu dingin. Padahal di luar rumah, pagi telah beranjak menjejak siang. Matahari sudah bergelantungan di atas menara gereja.

“Alex, kamu kenapa?” tegurku lagi. Kali ini lebih keras dari bunyi bel gereja Rehobot. Kendati demikian, rupanya kau tersadar setelahnya. Nyawamu kembali bersetubuh dengan badanmu yang legam terbakar.

Lamat-lamat kubiarkan kaumengatur nafasmu yang tersengal-sengal.

“Ilyas, kota kita!” kau terkaku menerangkan.

“Kenapa kota kita?” tanyaku. Sembari mendekatkan langkah, kudapati dirimu dalam dekapanku. Kali ini aku merasakan detak jantungmu tak beraturan, ia sepertinya tak patuh pada ritme debar yang disepakati tubuh, atas jantungmu.

“Gereja Silo!” tukasmu datar. Dadamu begitu sesak, terkoyak. “Gereja Silo telah diledak menjadi puing-puing, Ilyas.” Kau menekur lesu. Matamu berkaca-kaca sepertinya ingin marah namun kau tak sanggup.

“Siapa orangnya, Alex?” tanyaku.

Kau memilih bungkam.

Wajahmu lusuh.

***

Di tepian jalan gereja Rehobot, gema takbir begitu berkelabat dari menara-menara masjid. Sepertinya birahi untuk melumat nyawa memuncak. Aku masih mengingatnya semua. Kau berkata padaku, di sela-sela letupan bom yang tak henti-hentinya mempora-porandak kota kita.

“Mungkin Tuhan tak lagi berseliweran di trotoar-trotoar kota ini, Ilyas? Sepertinya petitih-petuah pela-gandong[1]sudah sekarat,dilumat orang-orang kita sendiri”.

Di langit, awan berarak tebal, berkepul asap, hingga hitam menggelap. Barangkali Tuhan tersenyum? Pikirku. Ataukah, Tuhan sedang bersilat otot membantai orang-orang yang dianggap kafir padaNya?

“Alex, kita tak lagi menaruh harap pada kota ini. Kota kita telah menjadi gunduk-gundukan penggalan tubuh. Kemanusiaan dan cinta memilih sekarat, tenimbang berbelas kasihan”.

Barangkali hari ini, serupa Idul Fitri berdarah, di bulan Juni 1999, sepertinya Desember menorehkan cerita yang kembara.

Kau tahu! Aku sontak dibuat kaget dengan ledak suara orang-orangmu.

Tuang Alla, dara Yesus…ada orang Salam—Islam, di sini semalam”.

Aku begitu simpuh, tertunduk lesu tak berdaya. Kau pun serupa denganku. Nyalimu ciut.

Saking berbelas kasihan, kau membuang tubuhmu laksana dedaunan berguguran. Pun, di atas hamparan tanah yang berbatu. Tangismu ledak-meledak, ketika aku diarak bak hewan ke luar rumah. Ayahdan Ibumu pun kendati sedemikian sedih.

Kau tak kuasa membendung tangismu, akibat sebilah parang dihunus ke leherku. Hingga menggores kulitku, lalu darah bersimbah ruah. Aku meringis kesakitan. Kau pikir aku sudah sekarat.

Parang dan tombak berjuntai-juntai di atas tubuhku yang tergeletak pasrah di tanah. Kau begitu bertenaga mendorong orang-orangmu hingga mereka jatuh tersungkur.

“Jangan bunuh dia!” pintamu.

Setelah reda, aku tak melihat iba bergelantungan dari wajah orang-orangmu. Namun, begitulah dirimu yang begitu setia pada sumpah dan janji leluhur kita.

“Beta mohon! Dia orang Geser, katong Kei pung pela[2]”. Kau masih saja mengulang-ulang katamu itu. Seiring sejalan dengan tangismu yang meledak.

Aku tak tahu berapa banyak orang-orangmu mati terbunuh di tangan orang-orangku yang beringas? Tetapi yang pastinya, aku akan mati terbunuh di mukimmu, sekarang, di hadapanmu.

Tetiba saja sebilah parang diayun begitu cepat, hampir saja tubuhku terbelah. Hanya saja kau terlalu cepat dengan gerakanmu yang tangkas. Aku pun masih bisa menghembuskan sisa nafas di tenggorokan. Namun, parang kembali diayun. Kali ini tak bisa dihindari lagi. Sekuat tenaga kau mendorongku pergi, hingga secepat itu parang yang diayun jatuh menimpali tubuhmu. Kau pun ditebas orang-orangmu sendiri.

Darahmu bersimbah ruah, kau tampak meringis kesakitan. Nafasmu begitu sekarat. Semua orang panik, apalagi Ayah dan Ibumu. Sempat kutengok, dalam keadaan yang sekarat, kau masih sempat menyuruhku lari sekuat tenaga.

Aku tak tega meninggalkanmu seorang diri tergeletak berlumuran darah. Namun, apatah lagi kau menyuruhku pergi. Keputusan yang kubuat hari itu, sampai saat ini aku masih terus mengutuk diriku sendiri. Kenapa, bukan aku saja yang terbunuh? Kenapa harus kau, Alex?

Kau terlalu setia pada sumpah itu: “Angalo Day’o, Keio Aro’o, akalo kau, hukumo kau—Angar, Day, Kei, Aru, kau memiliki akal dan hukum, pergunakanlah dengan baik. Saling menjaga dan melindungi”. Sumpah inilah yang ditumbuhkan leluhur. Akibatnya dengan itu, kau menuai kematianmu.

Sungguh malang nasibmu, Alex. Kau menutup usiamu yang terlalu dini. Saking patuh pada sumpah leluhur, kau korbankan nyawamu yang satu. Mungkin mereka bertanya, begitu pentingkah sumpat itu? Aku masih mengingat itu, Alex.

Kau dengan lantang berkata pada orang-orang yang mencoba-coba mengusik pela—persaudaraan kita.

“Jika agama tak memuliakan kemanusiaan, cukup saja kita panas pela.[3]Lupakan agama itu.”

Kau begitu yakin, dengan pelayang berwajah kemanusiaan dan cintakau akan bersua dengan Tuhan.

“Bukan di geraja atau masjid, tetapi kemanusiaan dan cinta kita bersua denganNya.” seperti inilah imanmu.

Damailah dalam keabadian cintaNya, Alex.

[1] "Pela" dan "Gandong". Pela adalah suatu ikatan persatuan sedangkan gandong mempunyai arti saudara. Sistem hubungan sosial ini yang dikenal dalam masyarakatMaluku, berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negeri dengan negeri lainnya, yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama lain. Sistem perjanjian pela ini diperkirakan telah dikenal atau telah ada sebagai bagian kearifan lokal masyarakat Maluku sebelum masa kedatangan bangsa-bangsa Eropa

[2] Ikatan persatuan persaudaraan berupa sumpah antara orang Kei di Maluku Tenggara dengan Orang Geser di Seram Timur.

[3] Salah satu prosesi adat. Sebagai refleksi atas sumpah pela yang di ikrarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun