“Alex, kamu kenapa?” tegurku lagi. Kali ini lebih keras dari bunyi bel gereja Rehobot. Kendati demikian, rupanya kau tersadar setelahnya. Nyawamu kembali bersetubuh dengan badanmu yang legam terbakar.
Lamat-lamat kubiarkan kaumengatur nafasmu yang tersengal-sengal.
“Ilyas, kota kita!” kau terkaku menerangkan.
“Kenapa kota kita?” tanyaku. Sembari mendekatkan langkah, kudapati dirimu dalam dekapanku. Kali ini aku merasakan detak jantungmu tak beraturan, ia sepertinya tak patuh pada ritme debar yang disepakati tubuh, atas jantungmu.
“Gereja Silo!” tukasmu datar. Dadamu begitu sesak, terkoyak. “Gereja Silo telah diledak menjadi puing-puing, Ilyas.” Kau menekur lesu. Matamu berkaca-kaca sepertinya ingin marah namun kau tak sanggup.
“Siapa orangnya, Alex?” tanyaku.
Kau memilih bungkam.
Wajahmu lusuh.
***
Di tepian jalan gereja Rehobot, gema takbir begitu berkelabat dari menara-menara masjid. Sepertinya birahi untuk melumat nyawa memuncak. Aku masih mengingatnya semua. Kau berkata padaku, di sela-sela letupan bom yang tak henti-hentinya mempora-porandak kota kita.
“Mungkin Tuhan tak lagi berseliweran di trotoar-trotoar kota ini, Ilyas? Sepertinya petitih-petuah pela-gandong[1]sudah sekarat,dilumat orang-orang kita sendiri”.