Di langit, awan berarak tebal, berkepul asap, hingga hitam menggelap. Barangkali Tuhan tersenyum? Pikirku. Ataukah, Tuhan sedang bersilat otot membantai orang-orang yang dianggap kafir padaNya?
“Alex, kita tak lagi menaruh harap pada kota ini. Kota kita telah menjadi gunduk-gundukan penggalan tubuh. Kemanusiaan dan cinta memilih sekarat, tenimbang berbelas kasihan”.
Barangkali hari ini, serupa Idul Fitri berdarah, di bulan Juni 1999, sepertinya Desember menorehkan cerita yang kembara.
Kau tahu! Aku sontak dibuat kaget dengan ledak suara orang-orangmu.
“Tuang Alla, dara Yesus…ada orang Salam—Islam, di sini semalam”.
Aku begitu simpuh, tertunduk lesu tak berdaya. Kau pun serupa denganku. Nyalimu ciut.
Saking berbelas kasihan, kau membuang tubuhmu laksana dedaunan berguguran. Pun, di atas hamparan tanah yang berbatu. Tangismu ledak-meledak, ketika aku diarak bak hewan ke luar rumah. Ayahdan Ibumu pun kendati sedemikian sedih.
Kau tak kuasa membendung tangismu, akibat sebilah parang dihunus ke leherku. Hingga menggores kulitku, lalu darah bersimbah ruah. Aku meringis kesakitan. Kau pikir aku sudah sekarat.
Parang dan tombak berjuntai-juntai di atas tubuhku yang tergeletak pasrah di tanah. Kau begitu bertenaga mendorong orang-orangmu hingga mereka jatuh tersungkur.
“Jangan bunuh dia!” pintamu.
Setelah reda, aku tak melihat iba bergelantungan dari wajah orang-orangmu. Namun, begitulah dirimu yang begitu setia pada sumpah dan janji leluhur kita.