Setengah jam kemudian
        Mama membungkuk dan mengintip melalui bulatan kaca kecil di pintu. Betapa terkejutnya Mama, pria aneh tersebut berdiri tepat di sebrang pintu kamar yang kami tempati. Ia sedang bersandar di dinding dan terus menatap pintu kamar kami. Bibirnya masih terus komat-kamit.
        Mama berbisik, "Apa kita lapor saja ke pihak hotel?"
        Aku mengangguk. Lalu, menelepon customer service melalui telepon hotel. Tapi, teleponnya tidak mau tersambung juga. Setelah 15 menit telepon tidak tersambung juga, aku menyerah.
TOK TOK TOK
        Alangkah terkejutnya kami. Bahkan, Mama dan Ning terlonjak. Dengan mengendap-endap, aku mengintip. Aku langsung menarik napas lega dan membuka pintu.
        "Hai, mengapa kalian semua berwajah pucat pasi?" Tanya Dani, adikku dengan riang. "Maaf aku terlambat datang. Tadi macet sekali."
        "Kau tidak lihat pria setengah baya yang berdiri di depan pintu kamar ini?"
        "Tidak. Lorongnya kosong melompong. Tidak ada siapa pun. Hanya ada bellboy dan aku. Bellboy yang mengantarku ke sini karena aku tidak punya kartu akses lift. Memangnya ada apa?" Tanya Dani dengan polos.
        "Ada pengintai yang seram. Pria misterius menatap pintu kamar ini sekitar 45 menit," jawab Mama.
        "Kemudian?"