Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Studi Kasus Bisnis Mak Comblang di Lereng Gunung

12 Oktober 2024   01:46 Diperbarui: 12 Oktober 2024   02:13 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamat atas pernikahannya. Jangan menikah lagi, ya! Fira kan sudah menikah dua kali. Anak pun sudah 3 bocil. Yang anteng dengan suami baru," ujar Bi Isah setajam stiletto. Bibirnya tersenyum semanis mungkin. Tapi, di balik madu ada racun.

Sang penganten baru pun merengut. Kedua matanya memancarkan semburan api. Ia tampak ingin mencekik Bi Isah. Syeraaam!

Dengan cuek bebek, Bi Isah menyalami sang penganten baru. Kemudian, ngeloyor untuk menikmati kuliner yang melimpah ruah. Ada rendang, ikan pesmol, ayam goreng, sup, dll. Pesta pernikahan di area lereng gunung ini selalu meriah. Pernikahan merupakan ajang unjuk gigi.

Dampak positif bisnis mak comblang:

  • Mak comblang memastikan asal usul kedua belah pihak jelas sehingga tak ada yang merasa tertipu.
  • Mayoritas perempuan memperoleh rumah, emas, dan uang sebagai mahar. Jarang warga yang tunawisma di area ini.
  • Mudah melepas status jomlo.

Dampak negatif bisnis mak comblang:

  • Perempuan single akan merasa tak nyaman tinggal di area ini karena diperlakukan seperti komoditi bisnis. Rentan pemaksaan dan eksploitasi.
  • Angka pernikahan dan perceraian begitu tinggi. Pria cenderung jenuh pada istri dan mudah sekali menceraikan, ataupun memiliki banyak istri karena penawaran mak comblang yang gencar. Sementara perempuan juga menikah lebih berdasarkan materi dibandingkan cinta sehingga mudah sekali meminta cerai.
  • Ekonomi stagnant karena pria lebih suka menghambur-hamburkan uang untuk pernikahan. Menikah lagi dan lagi. Sementara para janda sangat irit karena mereka harus membiayai diri sendiri dan anak yang ditinggalkan sang mantan suami. Walaupun demikian, para janda tersebut tak mengeluh karena mahar rumah yang diberikan oleh sang mantan suami saat ijab kabul, tak diminta lagi oleh sang mantan suami. Para istri pun sangat ketat mengeluarkan uang karena perputaran uang yang buruk di area ini. Hampir praktis tak ada yang membeli barang baru. Barang yang diminati ialah baju bekas yang dirombak dan berharga 10-30 ribu Rupiah. Itu pun sangat sulit laku. Kejayaan piring porselen sudah berlalu di area ini. Yang laku ialah peralatan makan dari plastik ataupun bahan gelas yang murah meriah. Makanan yang laku berupa bakso, bubur ayam, buras, dan gorengan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun