"Oh, begitu. Neng mau ya Mamang jodohkan dengan Surya, anak Haji Gandi? Neng tak akan menyesal. Pak Haji orang terkaya di desa ini. Ia memiliki 4 rumah dan 3 mobil. Sawahnya sekitar 10 hektar. Belum lagi usaha penggilingan beras."
"Lalu, tunanganku?"
Mang Udin menghela napas. "Selama janur kuning belum terpasang, Neng berhak memperoleh pasangan terbaik. Neng ini sangat cantik. Pasti Surya terpikat."
"Aduh, Mang. Aku ini sudah berjanji akan menikah dengan Rio. Sebaiknya, Mamang mencari perempuan lain saja untuk dijodohkan. Tentu banyak gadis desa yang jauh lebih bening dan cantik dari diriku," tolak Nisa sembari memilih kentang. Di area ini ukuran kentang kecil dan kurang segar. Mungkin udara yang sangat lembab menyebabkan kualitas pangan menurun.
Mang Udin yang keras kepala, tak gentar oleh penolakan tersebut. Ia sudah terlampau berpengalaman menjadi mak comblang. Dengan cekatan, ia pun menulis no handphonenya di kertas bon. Kemudian, ia menyodorkan kertas tersebut pada Nisa.
"Jika Neng berubah pikiran, hubungi Mamang di no handphone ini," ujar Mang Udin dengan nada suara seprofesional mungkin.
Nisa tertegun. Ia berusaha menolak. Tapi, Mang Udin menjejalkan kertas tersebut ke dalam genggamannya.
"Baiklah, Mang. Terimakasih banyak untuk niat baik Mamang. Jadi, berapa total belanjaanku?"
"Dua puluh ribu Rupiah."
Bisnis mak comblang alias biro jodoh konvensional luar biasa berkembang di area lereng gunung. Nisa sampai bingung jika keluar rumah, pasti orang tak dikenal menawarkan jasa mak comblang. Aneh luar biasa. Kalah sudah promo aplikasi online dating dibandingkan promosi mulut ke mulut warga sekampung! Kalah sudah kecepatan meteor dibandingkan kecepatan mak comblang mengenali adanya perempuan single :P
"Mau ya dikenalkan dengan Geri, anak Ustaz Rohim yang galau tingkat dewa akibat patah hati. Ganteng dan masih muda. Baru 25 tahun," ujar Bi Isah antusias. "Nanti Nisa bisa memesan kebaya penganten di Bibi. Jahitan Bibi paling rapi di desa ini."