Disclaimer: Please, penjual gorengan yang membaca artikel ini jangan tersinggung ya. Â Bukan berarti aku menyamaratakan karakteristik seluruh penjual gorengan. Ini hanyalah suatu studi kasus yang terjadi di lereng gunung, tepatnya di Jawa Barat. Kadangkala untuk membahas bisnis UMKM, bukan hanya masalah produk. Tapi, juga karakteristik sang pemilik (personal branding) dalam berbisnis.
Area lereng gunung tak sesunyi yang terlihat. Penuh dengan intrik. Ramai oleh konflik ala sinetron. Tak bisa beradaptasi, maka akan hidup terkucil dalam gubuk derita.
"Sirik adalah masalah utama di dunia ini. Tapi, berkat rasa sirik, aku jadi kurus. Sirik dengan orang ini. Sirik dengan orang itu. Tak perlu diet. Sirik akan menghancurkan segala lemak jenuh. Sirik, sirik, dan sirik. Kau pun harus sepertiku. Lelah jika harus diet dan jogging." - Nur (sahabatku yang bekerja sebagai peneliti. Ia menyarankanku untuk banyak merasa sirik agar aku sekurus lidi tanpa harus banyak berjuang. Wkwkwkwk).
Sirik antar tetangga itu sudah biasa. Sirik antar penjual gorengan luar binasa. Perkelahian antara Mak Ani dan Mak Zahra benar-benar terjadi bagaikan perang bintang di galaksi. Nama keduanya disamarkan karena aku ngeri dipukul dengan sodet jika terungkap. Kalau dilempar gorengan sih, tinggal buka mulut saja ya. HAP. Setangkas singa laut melahap ikan segar...
"Aku tak suka kau berdagang gorengan. Aku yang lebih dulu berdagang di sini. Beraninya kau merebut langgananku?" Tanya Mak Ani sembari berkacak pinggang. Kedua alisnya yang setebal Crayon Shincan hampir bertaut. Matanya memancarkan aura pembunuhan tingkat tinggi. Aw, tolong!
Bibir tebal Mak Zahra mencibir semulur mungkin. Mungkinkah Mak Zahra reinkarnasi Superhero Plastic Man? Ia pun membalas dengan sengit, "Memangnya mengapa jika aku juga berdagang gorengan? Kau merasa tersaingi? Kau merasa tak sanggup menyaingi keahlianku?"
"Untuk apa aku merasa tersaingi? Gorenganmu itu goreng! (goreng ialah bahasa Sunda yang artinya jelek)"
"Dasar perempuan jahat! Pantas kau ditinggal suamimu."
"Kau juga ditinggal suamimu. Ia mati muda karena tak tahan dengan watakmu yang sekeras karang. Semoga daganganmu tak laku."
"Enak saja. Hingga ajalnya, suamiku tetap mencintaiku. Tak seperti suamimu yang main gila dengan gadis dari kampung sebelah. Beraninya kau mengutuk daganganku. Semoga daganganmu basi. Nggak ada yang mau beli. Cuaaah!"
     Â
Kemudian, terjadilah perkelahian gaya ayam geprek. Kekuatan mereka seimbang berkat sering mengadon adonan...Apakah ada yang berani melerai? Tentu tidak. Biarlah mereka berdua perang tepung terigu...mungkin masa kecil kurang bahagia...Biarlah mereka menyalurkan segala emosi terpendam agar tidak kanker. Begitulah opini Pak RT yang diplomatis. Kebetulan, Pak RT pelanggan gorengan Mak Zahra yang terkenal harum dan kaya bumbu, tapi ia enggan terlibat pertikaian antara kedua perempuan yang usianya sudah menginjak setengah baya tersebut. Pak RT yang logis dan bertubuh kurus, tak ingin babak belur. Ia masih ingin hidup lebih lama. Jika perasaan Pak RT digambarkan, maka lagu 'Salah' oleh Lobow yang paling mewakili... Serba salah ih!
Tak berapa lama, kedua warung gorengan tersebut tutup. Bangkrut! Rupanya doa mereka mujarab, didengar oleh Yang Maha Kuasa supaya keduanya introspeksi diri. Agar adil, kedua warung tersebut tutup. Padahal kedua warung tersebut cukup laku.
Aku tak bisa menyalahkan 100% karakteristik penjual gorengan di area ini. Hidup di area lereng gunung memang keras dan getir. Persaingan usaha begitu ketat karena para konsumen begitu ketat membelanjakan uang untuk kehidupan sehari-hari. Bukan karena mereka tidak punya uang. Tapi, mereka cenderung mengeluarkan uang luar biasa banyak ketika menikah atau pun event. Maka, tak heran jika perempuan di area ini menikah berkali-kali karena potensi memperoleh mas kawin yang besar dari setiap pernikahan yang terjadi. Mungkin hal ini tampak ganjil, tapi begitulah fenomena di area lereng gunung ini. Hal tersebut terjadi karena ekonomi yang stagnant dan infrastruktur yang sulit. Tapi, jangan segalak singa betina dong!
Bisnis gorengan di lereng gunung tidak semanis yang terlihat. Kadangkala bisnis gorengan itu segetir kasih tak sampai. Maju salah, mundur pun salah. Jika bisnis gorengan tak dilakukan, tak dapat cuan. Jika dilakukan, harus siap bertarung di arena smackdown bibir alias perang kata yang setajam stiletto ataupun perang sedingin Kutub Utara. Kekuatan mental diperlukan untuk menghadapi kejamnya dunia bisnis!
Pangsa pasar gorengan memang seluas Samudera Hindia karena mayoritas orang Indonesia suka gorengan. Tak apalah berisiko mati cepat karena kolesterol jenuh. Yang penting mati dalam keadaan bahagia! Bukankah rasa bahagia juga membuat panjang umur? Jadi, impas. Hehehe.
Saat subuh para petani yang memakai busana menarik, tabrak warna dan motif, membeli gorengan dan buras tanpa isi untuk sarapan. Bahkan, ada penjual gorengan yang menjual gorengan dari jam 4 subuh seperti Mak Ani. Gorengan yang dijual para penjual gorengan begitu serupa, yaitu tempe goreng tepung, bala-bala, bakwan jagung, ataupun gorengan kacang tolo. Tak pernah ada variasi. Jika seorang penjual gorengan laku menjual suatu gorengan, maka tetangga sekitar akan mereplikasi bisnis serupa. Apakah replikasi bisnis itu salah? Tentu tidak. Setiap produk gorengan tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Apakah hasil gorengannya segosong pantat kuali, apakah rasa gorengannya sehambar cinta, apakah ukuran gorengannya begitu kecil seperti mata semut, atau apakah sambal kacangnya sekecut mertua yang materialistis? Belum lagi service dari si penjual gorengan. Apakah sejutek debt collector, apakah semanis madu yang menggoda kumbang, atau apakah sedatar tembok? Keseluruhannya akan membentuk persepsi konsumen. Apakah sang konsumen akan setia berlangganan atau kutu loncat?
Hal yang berisiko memang menantang! Walaupun banyak mengandung kolesterol jenuh, gorengan tetap diminati karena murah meriah dan mengenyangkan. Dulu saat aku sakit lama, makan gorengan yang digoreng dengan minyak canola. Enak dan sehat sih, tapi sekarang harga minyak canola mana tahan... Orang Korea Selatan malah menggoreng ayam dengan minyak biji anggur yang juga kaya antioksidan.
Lazimnya di area lain, di lereng gunung pun gorengan dibuat dengan minyak goreng curah dari kelapa sawit. Semoga saja aman. Walaupun tampak jernih, khawatirnya minyak goreng curah mengandung zat kimia berbahaya :P Prinsipnya, jika konsumsi gorengan dari penjual gorengan, didetoks saja dengan air kelapa hijau atau buah naga.
Minyak makan merah yang kaya akan vitamin A dan E sudah diproduksi walaupun masih di area tertentu. Pilot project minyak makan merah Koperasi Pujakesuma dilakukan di Pagar Merbau, Deli Serdang, Sumatera Utara dengan mengadopsi inovasi teknologi Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Minyak makan merah tersebut tidak mengalami proses bleaching sehingga lebih sehat. Bahkan, lebih ekonomis karena bisa untuk menggoreng hingga 12 kali. Minyak makan merah rusak ketika warnanya bening. Terbayang jika minyak makan merah ini sudah tersebar merata hingga ke lereng gunung. Tentu masyarakat gunung yang cinta gorengan, bisa hidup lebih sehat dengan minyak makan merah yang lebih terjaga kualitasnya. Pasti penjual gorengan lebih sehat dan kuat bersaing...hehehe.
Prinsip bisnis yang berkeadilan ialah tidak memonopoli, tidak mengambil keuntungan terlampau besar pada konsumen, atau pun tidak menekan harga pembelian terlampau rendah pada supplier. Bisnis harus dilihat sebagai suatu kontinuitas. Ketika memonopoli perdagangan, produk menjadi kurang kompetitif. Suatu saat produk tersebut berisiko tidak bisa bersaing ketika ada kompetitor yang menerapkan teknologi yang up-to-date ataupun buying experience yang tak terlupakan. Jika mengambil keuntungan terlampau besar, konsumen akan kapok dan berisiko beralih pada produk lain. Jika menekan harga pembelian terlampau rendah pada supplier, bisa berisiko supplier bangkrut dan akhirnya berakibat kurangnya pasokan bahan baku. Jadi, tak boleh terlampau rakus dalam berbisnis. Begitulah yang harus dipahami oleh pebisnis, termasuk penjual gorengan. Yakinlah, setiap orang yang berniat baik akan memperoleh rezeki halal. Please, jangan suka jutek dan berantem ah...
"Harganya dua ribu Rupiah untuk 3 gorengan," ujar Mak Zahra.
Keesokan harinya, "Harganya seribu Rupiah untuk 1 gorengan."
Minggu depan Mak Zahra berkata, "Semua harga bahan naik. Harganya seribu lima ratus Rupiah."
Begitu tak dibeli lagi, Mak Zahra membujuk. "Harganya kembali dua ribu Rupiah untuk 3 gorengan."
Harga produk harus standar, bukan berdasarkan mood. Ketakstabilan harga produk membuat konsumen merasa tak nyaman. Yang harus diperhatikan ialah kontinuitas penjualan, bukan meraup keuntungan sebesar mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H