Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Studi Kasus UMKM Gorengan di Lereng Gunung

11 Oktober 2024   08:35 Diperbarui: 11 Oktober 2024   08:39 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Kompas Money.

           

Kemudian, terjadilah perkelahian gaya ayam geprek. Kekuatan mereka seimbang berkat sering mengadon adonan...Apakah ada yang berani melerai? Tentu tidak. Biarlah mereka berdua perang tepung terigu...mungkin masa kecil kurang bahagia...Biarlah mereka menyalurkan segala emosi terpendam agar tidak kanker. Begitulah opini Pak RT yang diplomatis. Kebetulan, Pak RT pelanggan gorengan Mak Zahra yang terkenal harum dan kaya bumbu, tapi ia enggan terlibat pertikaian antara kedua perempuan yang usianya sudah menginjak setengah baya tersebut. Pak RT yang logis dan bertubuh kurus, tak ingin babak belur. Ia masih ingin hidup lebih lama. Jika perasaan Pak RT digambarkan, maka lagu 'Salah' oleh Lobow yang paling mewakili... Serba salah ih!

Tak berapa lama, kedua warung gorengan tersebut tutup. Bangkrut! Rupanya doa mereka mujarab, didengar oleh Yang Maha Kuasa agar keduanya introspeksi diri. Agar adil, kedua warung tersebut tutup. Padahal kedua warung tersebut cukup laku.

Aku tak bisa menyalahkan 100% karakteristik penjual gorengan di area ini. Hidup di area lereng gunung memang keras dan getir. Persaingan usaha begitu ketat karena para konsumen begitu ketat membelanjakan uang untuk kehidupan sehari-hari. Bukan karena mereka tidak punya uang. Tapi, mereka cenderung mengeluarkan uang luar biasa banyak ketika menikah atau pun event. Maka, tak heran jika perempuan di area ini menikah berkali-kali karena potensi memperoleh mas kawin yang besar dari setiap pernikahan yang terjadi. Mungkin hal ini tampak ganjil, tapi begitulah fenomena di area lereng gunung ini. Hal tersebut terjadi karena ekonomi yang stagnant dan infrastruktur yang sulit. Tapi, jangan segalak singa betina dong!

Bisnis gorengan di lereng gunung tidak semanis yang terlihat. Kadangkala bisnis gorengan itu segetir kasih tak sampai. Maju salah, mundur pun salah. Jika bisnis gorengan tak dilakukan, tak dapat cuan. Jika dilakukan, harus siap bertarung di arena smackdown bibir alias perang kata yang setajam stiletto ataupun perang sedingin Kutub Utara. Kekuatan mental diperlukan untuk menghadapi kejamnya dunia bisnis!

Pangsa pasar gorengan memang seluas Samudera Hindia karena mayoritas orang Indonesia suka gorengan. Tak apalah berisiko mati cepat karena kolesterol jenuh. Yang penting mati dalam keadaan bahagia! Bukankah rasa bahagia juga membuat panjang umur? Jadi, impas. Hehehe.

Saat subuh para petani yang memakai busana menarik tabrak warna dan motif, membeli gorengan dan buras tanpa isi untuk sarapan. Bahkan, ada penjual gorengan yang menjual gorengan dari jam 4 subuh seperti Mak Ani. Gorengan yang dijual para penjual gorengan begitu serupa, yaitu tempe goreng tepung, bala-bala, bakwan jagung, ataupun gorengan kacang tolo. Tak pernah ada variasi. Jika seorang penjual gorengan laku menjual suatu gorengan, maka tetangga sekitar akan mereplikasi bisnis serupa. Apakah replikasi bisnis itu salah? Tentu tidak. Setiap produk gorengan tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Apakah hasil gorengannya segosong pantat kuali, apakah rasa gorengannya sehambar cinta, apakah ukuran gorengannya begitu kecil seperti mata semut, atau apakah sambal kacangnya sekecut mertua yang materialistis? Belum lagi service dari si penjual gorengan. Apakah sejutek debt collector, apakah semanis madu yang menggoda kumbang, atau apakah sedatar tembok? Keseluruhannya akan membentuk persepsi konsumen. Apakah sang konsumen akan setia berlangganan atau kutu loncat?

Hal yang berisiko memang menantang! Walaupun banyak mengandung kolesterol jenuh, gorengan tetap diminati karena murah meriah dan mengenyangkan. Dulu saat aku sakit lama, makan gorengan yang digoreng dengan minyak canola. Enak dan sehat sih, tapi sekarang harga minyak canola mana tahan... Orang Korea Selatan malah menggoreng ayam dengan minyak biji anggur yang juga kaya antioksidan.

Lazimnya di area lain, di lereng gunung pun gorengan dibuat dengan minyak goreng curah dari kelapa sawit. Semoga saja aman. Walaupun tampak jernih, khawatirnya minyak goreng curah mengandung zat kimia berbahaya :P Prinsipnya, jika konsumsi gorengan dari penjual gorengan, didetoks saja dengan air kelapa hijau atau buah naga.

Sumber gambar: Kompas Money.
Sumber gambar: Kompas Money.

Minyak makan merah yang kaya akan vitamin A dan E sudah diproduksi walaupun masih di area tertentu. Pilot project minyak makan merah Koperasi Pujakesuma dilakukan di Pagar Merbau, Deli Serdang, Sumatera Utara dengan mengadopsi inovasi teknologi Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Minyak makan merah tersebut tidak mengalami proses bleaching sehingga lebih sehat. Bahkan, lebih ekonomis karena bisa untuk menggoreng hingga 12 kali. Minyak makan merah rusak ketika warnanya bening. Terbayang jika minyak makan merah ini sudah tersebar merata hingga ke lereng gunung. Tentu masyarakat gunung yang cinta gorengan, bisa hidup lebih sehat dengan minyak makan merah yang lebih terjaga kualitasnya. Pasti penjual gorengan lebih sehat dan kuat bersaing...hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun