"Ranko, jangan pulang larut malam! Akhir-akhir ini di kota kita tak aman, terutama bagi gadis berambut panjang sepertimu," nasehat Tuan Kamizawa pada anak gadisnya.
Ranko mengerutkan kening. "Memangnya ada apa, Chichi?" (Chichi merupakan panggilan ayah dalam Bahasa Jepang).
Tuan Kamizawa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Ia melepaskan kacamata yang melorot di pangkal hidungnya. "Bagaimana sih kau ini? Sudah terjadi 3 pembunuhan beruntun dalam 2 bulan. Mayat ketiga gadis itu ditemukan botak. Rambut mereka digunting secara acak-acakan. Memangnya kau tak membaca koran online atau membuka media sosial?"
"Aku sibuk belajar untuk persiapan ujian akhir semester," ucap Ranko.
"Belajar itu bagus, tapi jangan juga ketinggalan berita alias kudet."
Ranko menyeringai. Kemudian, ia melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. "Okay, Chici. Aku harus berangkat sekarang jika tak mau terlambat. Les Bahasa Inggrisku dimulai 15 menit lagi."
"Ya, berangkatlah," ujar Tuan Kamizawa. Perhatiannya sudah teralihkan lagi ke dokumen-dokumen di layar laptopnya. "Jangan sampai kerasukan jin ular lagi! Kau kan sangat disukai jin. Setelah kerasukan jin ular, nanti kau kerasukan jin naga."
Ranko meleletkan lidah. "Tak akan." Ayah Ranko memang bercandanya super garing. Siapa yang mau kerasukan jin naga?
***
Ranko bersenandung dengan riang. Nilai IELTS Prediction Test-nya 7,5. Tak sia-sia Ranko belajar Bahasa Inggris dengan Tama, si hantu kucing yang menguasai berbagai bahasa asing. Tama guru yang disiplin. Tapi, kesabaran Tama setipis selembar tissue. Setiap Ranko melakukan kesalahan, ia pasti menggeram dan menjitak dahi Ranko dengan kaki kanan depannya.
"Hallo, Bapak sudah sampai mana, ya? Saya ada di depan Les Bahasa Inggris Friendstar," kata Ranko pada pengemudi motor ojek online via handphone. Ia ingin segera pulang karena teman-teman les lainnya sudah pulang sejak setengah jam yang lalu.
"Saya sudah tiba di Gang Kenanga yang banyak menjual bunga hias. Titik lokasinya ada di area itu. Coba Adik saja yang jalan sedikit ke sini."
"Pak, gang yang harus saya lalui ser..."
Belum Ranko menyelesaikan kalimatnya, si pengemudi sudah memutuskan hubungan telepon. Ia menghela napas dan terpaksa menyetujui permintaan sang pengemudi motor ojek online.
Baru saja Ranko melangkah, rintik hujan mulai turun. Ia berdesah kesal ketika melihat suasana gang yang mengerikan. Sebagai indigo, Ranko selalu berusaha menghindari area-area yang seram. Ia malas menanggapi hantu-hantu penasaran yang selalu mengganggunya. Seringkali mereka tidak hanya mengajaknya berbincang, tapi juga meminta banyak hal. Ia pernah diminta mengantarkan hantu yang ingin pulang ke rumah orangtuanya atau ke makamnya, mencari barang kesayangan, bahkan pernah diminta menyampaikan kalimat perpisahan penuh cinta untuk sang kekasih yang ditinggal mati. Ia mendesah kesal jika memikirkan nasibnya sebagai indigo yang harus tanggap akan kemalangan para hantu. Memangnya ia pesuruh hantu?
Ranko berdoa dalam hatinya. Semoga tidak ada roh penasaran malam ini. Amin.
Dengan mengumpulkan semua keberanian di sel-sel tubuhnya, Ranko pun setengah berlari melintasi gang tersebut. Lampu gang yang temaram menciptakan bayang-bayang yang mengerikan di sepanjang gang.
Uff, doa Ranko tak terkabul. Terdengarlah suara parau yang menggelegar dari udara hampa di depan Ranko.
PERGI! PERGI YANG JAUH!
Ranko mengutuk dalam hati. Tak perlu diminta pun, aku pasti akan pergi. Galak sekali hantu di gang ini. Ia semakin mempercepat langkahnya menuju mulut gang keluar.
TOLONG! TOLONG! TOLONGLAH AKU!
JANGAN TINGGALKAN AKU!
HUUUAAA...
Nah, sekarang terdengar jeritan dan rintihan dari sisi kanan Ranko. Ia bergegas tanpa mempedulikan. Ia sudah terlalu terbiasa mendengar rintihan hantu baik hantu perempuan maupun hantu pria. Malam ini ia ingin segera pulang dan minum cokelat panas bersama ayahnya dan Pak Rangga, sang asisten ayahnya yang setia.
JANGAN PERGI!
KAU SATU-SATUNYA HARAPANKU!
IA AKAN MEMBUNUHKU...
AAARGH...
Kalimat terakhir jeritan itu menyadarkan Ranko bahwa yang memohon pertolongan ialah seorang gadis dan bukanlah hantu perempuan seperti yang ia duga sebelumnya. Otomatis, ia menoleh ke belakang dan disuguhi pemandangan yang sangat mengerikan.
Â
Dalam temaramnya lampu jalan, tampak seorang gadis tersungkur di trotoar. Di punggungnya yang bersimbah darah tertancap sebatang pipa besi. Gadis itu pitak. Persis seperti kisah pembunuhan beruntun yang diceritakan Tuan Kamizawa, ayahnya Ranko. Massacre-kah?
Jantung Ranko berdebar keras. Ia celingukan. Sang pembunuh pasti masih berkeliaran di sekitar gang ini. Ia membungkuk dan meraih gadis tersebut.
"Kau bisa berdiri? Aku akan memapahmu," bisik Ranko.
Gadis itu menganggukkan kepala dengan lemah. Dengan susah payah ia berdiri. Lututnya goyah dan gemetar hebat hingga Ranko harus berjuang keras untuk setengah menyeretnya. Masih setengah perjalanan hingga mereka bisa keluar dari mulut gang.
Sepanjang perjalanan, gadis itu terisak. Ranko yang berpikiran dingin, berbisik dengan gusar, "Demi Tuhan, hentikan isak tangismu. Kau ingin kita berdua dibunuh oleh si pembunuh berantai? Aku baru akan menelepon polisi ketika kita keluar dari mulut gang dan berada di tempat terang. Nanti di kantor polisi kau bisa menangis keras sepuas mungkin."
Bukannya menghentikan isak tangisnya, gadis itu malah menangis lebih keras. "A...aku ta...tak maa...mau kiiitaaa teer...terbunuh. Aku takut mati!"
Ranko mengaduh. Mengapa malam ini nasib Ranko jauh lebih malang dari sebelumnya? Ia harus mengakui perkataan hantu yang menghadangnya di mulut masuk gang dan mengusirnya itu sudah perbuatan yang benar. Seharusnya, ia menghindari masuk ke dalam gang terkutuk itu. Ia bukan tipe pahlawan pembela kebenaran, melainkan hanya pelajar biasa yang kebetulan indigo.
    Sungguh keajaiban mereka bisa keluar dari gang dengan selamat mengingat gadis itu berisiknya minta ampun. Tak henti-hentinya ia menangis dan mengeluh.  Jika tak ingat dosa, Ranko ingin sekali meninggalkannya di trotoar. Sekarang ini bukan hanya si pembunuh yang ingin membunuhnya, tapi juga Ranko. Sepertinya, Tama, si hantu kucing, berhasil menularkan karakter kesabaran setipis selembar tissue.
Tepat di depan mulut gang, tampak seorang pengemudi motor ojek online yang celingukan sembari memegang handphone. Ranko segera melambaikan tangan.
"Dik, kok lama sekali. Hampir setengah jam saya tunggu di sini. Saya telepon tak diangkat-angkat. Mau saya batalkan order, kuatirnya adik ada apa-apa di dalam gang. Sedangkan gang ini jalan satu arah sehingga saya tak boleh masuk."
"Maaf, Pak. Saya tak mendengar dering handphone. Padahal handphone saya aktif. Mungkin gangguan sinyal."
"Ya, tak apa-apa. Mengapa Adik membungkuk terus? Sakit perut? Radang usus buntu?"
"Saya sehat. Saya kan kan sedang memapah. Bapak ini bagaimana?"
"Memapah apa? Pikiran Adik normal, kan?" Tanya sang pengemudi dengan bingung.
Ranko terkesiap dan menoleh. Nihil. Hanya kekelaman malam yang menjawab pertanyaan yang ada dalam benaknya. Ah, lagi-lagi ia diperdaya oleh hantu!
"Bagaimana, Dik? Kita jadi berangkat."
Ranko menganggukkan kepala. Sungguh malam yang ganjil. Belum pernah ia melihat hantu sepadat manusia seperti hantu gadis tadi. Ia merinding. Jangan-jangan gadis itu korban pembunuhan berantai.
Ranko tak pernah tahu. Hantu gadis itu tersenyum. Ia membuat dirinya kasat mata dan terbang mengikuti Ranko dan si pengemudi motor. Apa yang akan terjadi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H