“Mobil yang kuorder sudah tiba. Aku juga sudah menyiapkan ransel berisi pakaian dan perlengkapan untukmu selama beberapa hari.”
Aku berkata agak gusar, “Aku tidak ingin dirawat di rumah sakit.”
Sembari mengangkat hidung dengan angkuh, Ranko berkata dengan tegas, “Aku tak mau sahabatku mati konyol. Jika aku membiarkanmu mati begitu saja di sini karena kekeraskepalaanmu, berarti aku berdosa. Aku sudah berunding dengan Tama bahwa sebaiknya kau dirawat sore ini juga. Aku akan mengantar dan mengurus administrasi rumah sakit. Titik.”
Tama menganggukkan kepala. “Ini jalan yang terbaik, Ray. Aku akan menemanimu di rumah sakit.”
Aku pasrah. Ranko dan Tama yang bersatu, tak mudah dihadapi. Bahkan, ia sudah menyiapkan berkas asuransi kesehatan dan kartu keluarga untuk persyaratan administratif rumah sakit.
***
Aku pun terbaring lesu di ruang rawat Cempaka. Pak Rangga, asisten ayahnya Ranko, datang untuk menemaniku sejak malam ini hingga aku dinyatakan dokter boleh meninggalkan rumah sakit. Tama rebahan dengan santai di sampingku sembari menonton film dokumenter beruang yang menangkap dan makan ikan salmon di sungai.
Ranko mendokumentasikan diriku yang diinfus untuk kenang-kenangan. Aku tak berhasil mencegah keusilannya untuk mengupload fotoku tersebut di instagramku dengan caption ‘aku perlu bear hugs dan banyak cinta.’ Menurut Ranko, postingan tersebut akan membuat teman-temanku untuk datang membezuk dan menghiburku. Tanpa mempedulikan protes Ranko, aku langsung merampas handphone-ku dari tangan Ranko dan menghapus postingan tersebut. Aku lebih suka keheningan saat sakit.
“Kau tak pulang?” Tanyaku pada Ranko yang duduk santai di sampingku. Ia tampak cantik dan sesegar bunga matahari, tak sepertiku yang selayu daun kering.
“Kau mengusirku?” Tanya Ranko dengan mimik lucu. Bibirnya mengerucut.
“Sudah malam. Nanti ayahmu marah kau tak segera pulang,” sahutku dengan suara parau.