Aku tak tahu ini hari keberapa aku sakit typhus. Sudah banyak antibiotik yang kuminum, tapi kesehatanku tak kunjung membaik. Lidahku berbercak putih tanda panas dalam. Ususku yang bolong membuatku harus rebahan sepanjang hari dan hanya menyantap makanan halus seperti bubur buatan Teh Ira dan biskuit yang dicelupkan ke dalam susu. Teh Ira, asisten rumah tangga yang bertugas di rumahku sejak pagi hingga sore, selalu menatapku dengan sedih jika aku hanya makan beberapa suap hidangan yang dibuatnya.
Tama terus menemaniku. Tapi, ia tak bisa berbuat apa-apa ketika aku memuntahkan obat yang baru saja kuminum.
“Ray, sebaiknya kau dirawat di rumah sakit saja. Wajahmu pucat sekali dan demammu tinggi. Aku akan mengantarmu,” ujar Ranko dengan nada cemas.
Dengan bibir gemetar aku berkata, “Aku tak suka bau rumah sakit.”
“Bagaimana jika aku menelepon ibu atau kakekmu yang berada di Singapura?”
“Tak perlu. Jangan kau ganggu mereka! Ibu sangat repot merawat Kakek yang sakit jantung. Nanti pikiran Ibu tak menentu.”
Ranko merengut, “Kau sudah sekarat seperti ini, masih saja menawar. Sekarang kau pilih, rumah sakit atau kutelepon keluargamu?”
Aku memejamkan mata. Rasanya lelah sekali berdebat dengan Ranko. Aku hanya ingin tidur dengan tenang. Tapi, aku hanya bisa menikmati keheningan yang mahal harganya itu beberapa saat saja.
“RAY!”
“Jangan teriak di depan telinga orang sakit! Suaramu yang melengking membuat kepalaku tambah pening,” gerutuku.