Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 16 - Kunti Putih Bagian 4

18 September 2024   13:08 Diperbarui: 18 September 2024   13:10 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com.

Rasa lapar dan haus mengalahkan instingku. Aku mengirim pesan WhatsApp ke Ranko untuk menemaniku makan di dapur. Tapi, status pengiriman masih centang satu. Misscall-ku pun tak ia tanggapi.

"Tam, Tama. Kau ada di mana? Temani aku makan di dapur," bisikku pada dinding kosong.

Aku berseru senang ketika Tama menampakkan diri. Matanya yang kelabu tampak begitu jernih. Ekornya bergoyang lincah.

"Ray, akhirnya kau bangun juga. Kau tidur seperti orang mati."

"Tama, kau mendengar denting gamelan?"

Tama menelengkan kepalanya dengan imut. "Tentu saja. Ranko berkata kebiasaan neneknya ialah mendengarkan gamelan ketika hampir tidur."

"Oh begitu," ujarku. "Kalau begitu, tak masalah kan jika kita berkelana tengah malam begini ke dapur. Awalnya, kukira itu bunyi gamelan mistis."

Rumah ini tampak mengerikan di malam hari. Aku sungguh heran Nenek Dian berani tinggal seorang diri di sini. Ia tak ingin tinggal bersama anak semata wayangnya, Tuan Kamizawa. Nenek Dian sangat menyayangi rumah tua yang merupakan warisan turun-temurun keluarganya.

Aku menyusuri lorong menuju dapur. Suasananya yang remang-remang membuatku sangat bersyukur bahwa Tama ada di pundakku. Nona Missy sangat berjasa memberikan Tama padaku. Walaupun Tama sering bertingkah menyebalkan, tapi ia dapat dipercaya dan cerdik.

Ketika aku membuka tudung saji, jantungku hampir berhenti berdetak karena ada tangan dingin yang menggapai tangan kananku. Bulu kudukku langsung berdiri.

"Nak, kau lapar?" Tanya Nenek Dian sembari tersenyum misterius.

Aku menganggukkan kepala.

"Nenek temani makan, ya?" Tanya Nenek Dian sembari menyendokkan nasi dan mengambilkan sepotong ayam bakar.

Aku celingukan. Tama menghilang lagi. Aku meralat penilaianku bahwa Tama bisa dipercaya. Titik.

Keringat dingin mengucur di tengkukku. Dan siapa yang tidak jika ditatap dengan pandangan misterius oleh seorang nenek tua berumur 90 tahun. Aduh, apa ini sungguh-sungguh Nenek Dian atau Nenek Dian jadi-jadian? Ranko, mengapa kau selalu tidak ada saat aku mengalami kejadian janggal?

"Kau kepanasan? Akhir-akhir ini cuaca memang panas sekali."

Aku mengangguk dengan sopan. Bagaimana mungkin aku mengatakan bahwa mata Nenek Dian serasa membesar dan membakar. Bibir Nenek terlihat begitu merah. Jakunku bergetar dengan susah payah ketika makan dan minum. Rasa lapar dan hausku telah lenyap sejak kedatangan Nenek Dian. Apakah makanan dan minuman ini aman disantap? Tapi bagaimana jika ia benar-benar Nenek Dian? Alangkah tak sopannya jika aku menolak makan dan minum padahal ia tahu aku lapar.

"Makan lagi, Nak?"

"Sudah cukup. Terima kasih banyak."

"Makan lagi, Nak? Makan lagi, Nak? Makan lagi, Nak?" Suara Nenek Dian semakin lama semakin parau. Ia terus mengulangi pertanyaannya seperti radio rusak. Kemudian, hening.

Aku tercengang menatap Nenek Dian yang tiba-tiba pingsan. Kemudian, mulutku terasa lengket. Ugh, mulutku penuh darah segar. Aku berjalan menuju wastafel dan memuntahkan makanan yang baru saja kusantap. Aku mengalami pengalaman horor lagi. Cacing-cacing besar bergerak lincah dari muntahanku.

Aku langsung berlari menuju ruang tidurku. Tapi, aku harus melalui ruang tidur Nenek Dian yang pintunya terbuka sedikit. Tanpa sengaja aku melihat Nenek Dian yang sedang menari Jaipong begitu lincah dengan diiringi bunyi gamelan. Bukankah Nenek Dian yang kerasukan, sedang pingsan di dapur?

Bagaimana caranya untuk melalui kamar tidur Nenek Dian tanpa diketahui sang penari? Bukankah Ranko ada di dalam kamar tidur itu?

Aku pun berjalan berjingkat-jingkat melalui kamar tidur Nenek Dian. Tapi, harapan tinggal harapan. Pintu kamar tidur tersebut terbuka dengan keras. Sang penari melenggang keluar dengan luwes. Lututku langsung terasa lunglai karena wajah sang penari sekarang berubah muda dan persis wajah gadis yang menelanku.

Gadis itu menari di hadapanku dengan penuh semangat. Aku tak bisa menghindar ketika ia mengalungkan selendangnya padaku dan menarikku mendekatinya. Aku sudah memperkirakan yang terburuk, tapi ia malah mengecup keningku. Tanpa mengindahkanku yang gemetar, ia menari dan menari. Aku merasa waktu terhenti ketika ia berhenti menari dan menatapku dengan intens.

HIHIHI.

HIHIHI.

Ah, benar dugaanku. Hantu ini berulah lagi. Apa lagi yang akan ia lakukan setelah menelanku, mencekikku, memaksaku menyantap cacing, dan lainnya. Ia hantu psikopat yang seharusnya berobat ke dokter hantu. Apakah mungkin ia tewas dalam keadaan jomlo sehingga ia hobby menggoda pemuda lajang sepertiku? Berdasarkan pemikiran tersebut, aku memberanikan diri untuk berkata, "Nenek, aku tahu kau tak puas dengan kehidupanmu sebagai hantu. Tapi, cinta tak selebar daun kelor, please, carilah jodoh hantu kakek dan bertamasyalah dengannya."

Begitu aku selesai mengucapkan kalimat tersebut, mata gadis itu langsung mendelik murka. Ups, aku lupa. Aku telah melanggar hal yang tabu diucapkan di depan seorang perempuan, yaitu usia. Tentu kunti ini marah ketika diingatkan usianya yang sudah renta.

Kunti ini menunjukkan wujud aslinya yang sangat menyeramkan. Rambutnya yang panjang kusut masai. Kulit putihnya sangat pucat dan kisut seperti kulit jeruk kering. Bibirnya lebar dan semerah darah. Ah, mimpi apa aku hingga harus terus berurusan dengan hantu perempuan yang keras kepala seperti ini.

Gadis itu menyeringai dan memamerkan taringnya yang runcing. Ia semakin mendekat, sedangkan aku tak bisa bergerak seinci pun. Kakiku seperti dipaku. Lidahku pun kelu. Aku tak bisa mengucapkan mantera pengusir hantu.

Saat gigi taringnya hampir mencapai leherku, ada suara perempuan tua yang menjerit, "Laksmi, hentikan itu. Ia bukan Burhan."

Aku menoleh. Ternyata Nenek Dian yang menjerit.

Sejenak gadis itu terdiam. Tapi, ia tetap berusaha menggigitku. Maka, aku pun mengucapkan mantera pengusir hantu dalam hati.

Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.

Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.

Mahkluk kegelapan terkurunglah kau di sini.

Abadilah dalam keheningan.

Kunti itu terbelalak menatapku. Ia tampak sangat murka. Tapi, mengapa tidak ada yang terjadi? Mengapa ia tidak terperangkap dalam Jurnal Hantu? Aku ingin menepok jidatku. Jurnal Hantu-nya ada di saku jaketku yang tergantung di belakang pintu kamarku.

"Laksmi, hentikan! Jangan kau siksa pemuda itu. Ia sahabat Ranko, cucuku. Ranko cucumu juga," kata Nenek Dian panik.

HIHIHI.

HIHIHI.

Sembari cekikikan tanpa henti, kunti itu mengguncang-guncangkan tubuhku. Kuku-kuku tangannya menggores wajahku. Ia berusaha meraih leherku dan hendak membengkokkannya.

Nenek Dian berusaha menghalangi dengan meraih kunti tersebut. "Laksmi, hentikan kegilaan ini. Tak bisakah kau berdamai dengan dirimu? Nasibmu memang tragis. Burhan meninggalkanmu di lembah saat kau hamil besar. Aku sangat menderita ketika kau bunuh diri. Tapi, dunia ini tak hanya terdiri dari orang jahat."

Kunti itu melolong. Tapi Nenek Dian tak berhenti berbicara, "Laksmi, waktumu telah habis. Pergilah dengan tenang. Kau tahu aku mencintaimu, kan? Kita bersaudara kembar dan saling memahami perasaan satu sama lain."

Nenek Dian membelai rambut kunti itu dengan penuh kasih sayang. Kunti itu memeluknya erat. Tapi, aku sempat melihat pendaran mata kunti itu yang aneh. Ia berbahaya bagi Nenek Dian.

Dugaanku tepat. Kunti itu mencekik leher Nenek Dian hingga mata Nenek Dian terbelalak ke belakang. Ini saatnya atau tidak sama sekali. Aku langsung menabrak kunti tersebut.

"Ray, ini Jurnal Hantu-nya," seru Tama. Ia menggigit Jurnal Hantu dan memberikannya padaku.

Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.

Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.

Mahkluk kegelapan terkurunglah kau di sini.

Abadilah dalam keheningan.

Diiringi lolongan tangis yang memilukan, sang kunti alias Laksmi terperangkap dalam Jurnal Hantu. Nenek Dian menangis pilu. Hingga akhir, Laksmi lebih memilih dendamnya.

"Mengapa kalian berkumpul di sini dan tidak tidur?" Tanya Ranko dengan polosnya. "Aku terbangun karena mendengar jeritan. Apa yang terjadi?"

Ranko menoleh ke kiri dan kanan dengan ekspresi bingung. "Mengapa kalian diam saja?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun