Aku langsung berlari menuju ruang tidurku. Tapi, aku harus melalui ruang tidur Nenek Dian yang pintunya terbuka sedikit. Tanpa sengaja aku melihat Nenek Dian yang sedang menari Jaipong begitu lincah dengan diiringi bunyi gamelan. Bukankah Nenek Dian yang kerasukan, sedang pingsan di dapur?
Bagaimana caranya untuk melalui kamar tidur Nenek Dian tanpa diketahui sang penari? Bukankah Ranko ada di dalam kamar tidur itu?
Aku pun berjalan berjingkat-jingkat melalui kamar tidur Nenek Dian. Tapi, harapan tinggal harapan. Pintu kamar tidur tersebut terbuka dengan keras. Sang penari melenggang keluar dengan luwes. Lututku langsung terasa lunglai karena wajah sang penari sekarang berubah muda dan persis wajah gadis yang menelanku.
Gadis itu menari di hadapanku dengan penuh semangat. Aku tak bisa menghindar ketika ia mengalungkan selendangnya padaku dan menarikku mendekatinya. Aku sudah memperkirakan yang terburuk, tapi ia malah mengecup keningku. Tanpa mengindahkanku yang gemetar, ia menari dan menari. Aku merasa waktu terhenti ketika ia berhenti menari dan menatapku dengan intens.
HIHIHI.
HIHIHI.
Ah, benar dugaanku. Hantu ini berulah lagi. Apa lagi yang akan ia lakukan setelah menelanku, mencekikku, memaksaku menyantap cacing, dan lainnya. Ia hantu psikopat yang seharusnya berobat ke dokter hantu. Apakah mungkin ia tewas dalam keadaan jomlo sehingga ia hobby menggoda pemuda lajang sepertiku? Berdasarkan pemikiran tersebut, aku memberanikan diri untuk berkata, "Nenek, aku tahu kau tak puas dengan kehidupanmu sebagai hantu. Tapi, cinta tak selebar daun kelor, please, carilah jodoh hantu kakek dan bertamasyalah dengannya."
Begitu aku selesai mengucapkan kalimat tersebut, mata gadis itu langsung mendelik murka. Ups, aku lupa. Aku telah melanggar hal yang tabu diucapkan di depan seorang perempuan, yaitu usia. Tentu kunti ini marah ketika diingatkan usianya yang sudah renta.
Kunti ini menunjukkan wujud aslinya yang sangat menyeramkan. Rambutnya yang panjang kusut masai. Kulit putihnya sangat pucat dan kisut seperti kulit jeruk kering. Bibirnya lebar dan semerah darah. Ah, mimpi apa aku hingga harus terus berurusan dengan hantu perempuan yang keras kepala seperti ini.
Gadis itu menyeringai dan memamerkan taringnya yang runcing. Ia semakin mendekat, sedangkan aku tak bisa bergerak seinci pun. Kakiku seperti dipaku. Lidahku pun kelu. Aku tak bisa mengucapkan mantera pengusir hantu.
Saat gigi taringnya hampir mencapai leherku, ada suara perempuan tua yang menjerit, "Laksmi, hentikan itu. Ia bukan Burhan."