Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Jurnal Hantu, Bab 15 - Kunti Putih Bagian 3

18 September 2024   10:27 Diperbarui: 18 September 2024   10:36 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pickpik.com

BRAK. BRAK.

BRAK. BRAK.

"Siapa itu? Tama? Ranko? Nenek Dian?" Tanyaku gundah. Aku terbaring tak berdaya di atas lantai kamar mandi. Begitu mengerikan pengalaman mistisku. Gadis itu menelanku begitu saja dengan rongga mulutnya yang membesar seperti ular piton. Ketika berada di dalam tubuhnya, aku bisa merasakan aktivitas organ tubuhnya yang aktif. Bahkan, melihat jantungnya yang berdenyut-denyut. Tiba-tiba aku merasa mual dan memuntahkan sesuatu. Kuncup bunga mawar putih.

"Ray, kau baik-baik saja?" Tanya Tama dengan nada cemas. Tak biasanya Tama yang dingin dan tak berperasaan, merasa cemas akan diriku. Aku merasa terhibur melihat wajahnya yang gundah.

"Aku tak apa-apa."

Tama mendengus. "Aku mencium bau hantu. Sepertinya, kau baru saja diganggu kunti. Sudah setengah jam, aku berusaha membuka pintu kamar mandi yang disegel dengan kekuatan mistis."

Aku menatap Tama penuh rasa terima kasih. Untung Tama datang.

"Ray, mengapa kau mandi di kamar mandi rumah tetangga ini?" Tanya Tama penuh rasa heran. "Kau tak menyadari sebagian ruang mandi ini hampir runtuh. Suasananya angker sekali. Ranko mandi di kamar mandi dalam rumah. Setelah mandi, ia heboh menanyakan keberadaan dirimu karena sejak ia membunyikan lonceng rumah, kau menghilang begitu saja. Terakhir kali aku melihatmu sedang duduk di teras rumah. Kemudian, aku membuat diriku tak kasat mata dan berkeliling di dalam rumah neneknya Ranko."

Aku tercengang. "Tidak. Aku tidak pernah beranjak dari rumah Nenek Dian. Bagaimana mungkin aku bisa berada di sini?"

Tama mengangkat bahu. "Kau yang harus menjawab pertanyaanku." Kemudian, perhatiannya teralihkan oleh kuncup bunga mawar putih yang berada dalam kubangan muntahanku. "Apa itu? Kau makan bunga mawar putih di mana?"

"Sewaktu aku tersesat, aku menemukan tanaman bunga mawar yang indah di lembah. Begitu melihatnya, aku ingin memakannya begitu saja. Bukankah bunga mawar bagus untuk kesehatan jantung?"

Tama menggeleng-gelengkan kepalanya yang hitam. "Aku tak percaya ini. Kau pemburu hantu yang sudah memiliki beberapa pengalaman mistis, bisa berlaku begitu ceroboh. Kau makan kuncup bunga mawar putih tanpa memperhatikan risikonya. Pantas saja kau diganggu kunti."

Aku meringis mendengar omelannya. "Iya, aku salah. Jangan mengomel terus!"

"Kau ini selalu harus dalam pengawasanku. Sedangkan aku juga harus menjaga Ranko. Walaupun ia indigo, ia tak memiliki kemampuan memburu hantu sepertimu."

Aku menundukkan kepala pasrah diomeli oleh seekor hantu kucing senior yang lebih berpengalaman dalam dunia mistis.

"Sepertinya bunga mawar itu kau petik dari tanah makam seseorang."

Opini Tama membuatku sangat terkejut. "Tapi, aku tak melihat adanya nisan atau batu-batu kecil yang sering digunakan untuk pemakaman ala kadarnya?"

"Bisa saja kan korban pembunuhan yang dikubur atau korban kecelakaan alam yang tertimbun tanah. Dan kebetulan ada tanaman mawar putih tumbuh di atasnya."

Aku langsung merinding. Yang benar saja? Berarti aku menyantap zat hara manusia yang terurai dan menjadi nutrisi tanaman bunga mawar putih?

     Tiba-tiba kepala Ranko menyembul dari balik pagar yang membatasi rumah neneknya dengan rumah tetangga yang angker ini. "Sampai kapan kalian berdebat di sana? Nenek sudah menyiapkan hidangan lezat untuk kita. Ada ikan gurami bakar sambal rujak, tempe mendoan, dan pudding leci. Bahkan, ada salmon cake. Aku sudah sangat lapar."

     Mata Tama langsung bersinar terang 1.000 kW begitu mendengar kata gurami dan salmon. "Mantap sekali menu di sini. Beda benar dengan menu di rumah seseorang," ujar Tama sembari mendengus meremehkan. Dengan sekali lompatan, ia melampaui pagar pembatas.

     Ranko tertawa melihatku merengut. "Ray, mengapa kau malah mandi di sana? Memangnya ada air?"

 

     Aku menatap pancoran bambu. Tak ada air setetes pun. Sungguh mistis area ini.

    "Tadi sih ada airnya," sahutku lemah hingga membuat Ranko menaikkan kedua alis matanya yang indah.

     "Aku tak menyangka kau bernyali besar untuk mandi di sana," puji Ranko.

     Aku tersipu malu. Tapi, Tama malah berpura-pura batuk.

***

    Jam dinding menunjukkan tepat tengah malam. Apakah aku akan mati saat ini? Belum pernah aku merasa semenderita ini. Napasku sesak seolah-olah paru-paruku ditarik keluar. Jantungku berdetak secepat shinkansen.

Ah, ternyata ini penyebabnya. Sesosok nenek berkebaya yang serupa dengan Nenek Dian sedang mendudukiku yang sedang berbaring. Ia mencekik leherku sekuat tenaga dengan jemarinya yang seperti ubi kayu. Tiba-tiba pandanganku berwarna-warni akibat berlembar-lembar kain selendang yang bersumber dari ikat pinggang si nenek. Aku ingin menyibak belitan kain kumal tersebut, tapi seluruh tubuhku sekaku mayat. Walaupun aku menjerit, lidahku yang kelu tidak menghasilkan suara apa pun.

"MATILAH. MATI. AKU INGIN KEMATIANMU," kutuk nenek tua bangka tersebut. "MATILAH KAU, RAY! MATI! MATI! MATI!"

Tekanan jari nenek sihir ini seperti jepitan besi. Dalam hati aku melafalkan mantera pengusir hantu.

Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.

Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.

...

Berhasil! Aku baru mengucapkan setengah mantera pengusir hantu, si nenek jatuh terpelanting ke atas lantai kamar dan tiba-tiba menghilang. Kepompong selendang yang menyelubungi kepalaku pun terburai dan raib begitu saja.

Setelah kejadian tersebut, nenek itu beberapa kali menggangguku dengan menampakkan sepotong tangan keriput yang memegang kenop pintu kamar mandi. Aku mengganggap gangguan tersebut sepele dan nenek tersebut hanya ingin eksis. Hingga suatu siang, aku terlelap. Dalam keadaan setengah tertidur, aku merasakan hembusan napas di pipiku. Lagi-lagi si nenek tua. Gigi taringnya putih mengancam. Sedangkan bau tubuhnya seperti telur busuk. Sekarang nenek itu menindih lagi tubuhku sembari tertawa cekikikan. Sungguh hantu psikopat!

Mata nenek yang nyalang tersebut hanya berjarak dua inci dari mataku. Aku bisa melihat korneanya yang buram dan irisnya yang berwarna kelabu kebiruan. Pupil matanya seolah akan menelanku dalam kegelapan. Kami bertatapan saling mengukur kekuatan. Bulu kudukku merinding melihat mata nenek tersebut membesar dan membesar hingga seperti kolam hitam. Ia membuka mulutnya dan menyedot udara seolah ia hendak menarik jiwaku ke dalam dirinya. Uniknya, ia tiba-tiba menjerit kesakitan sembari menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya. Lalu, ia menghilang tepat ketika Nenek Dian mengetuk pintu kamarku.

"Nak Ray, ada apa? Kau bermimpi buruk? Mau Nenek temani?"

Aku ragu-ragu apakah ia benar-benar Nenek Dian. Setelah pengalamanku mandi di kamar mandi tetangga yang ditunjukkan oleh Nenek Dian jadi-jadian, aku jadi meragukan kemampuanku untuk membedakan dunia nyata atau pun mistis.

"Tidak apa-apa, Nek."

"Baiklah. Jangan segan meminta tolong, Nak. Kau sahabat Ranko, berarti kau cucuku juga."

"Terima kasih banyak, Nek."

Terdengar langkah kaki Nenek Dian yang berjalan menjauh. Aku pun melanjutkan tidur siangku lagi.

***

Bunyi gamelan Sunda berdenting di seantero ruangan.  Aku menatap jarum jam dinding kuno. Ternyata aku tidur hingga jam 12 malam dan tidak ada yang membangunkanku. Kerongkonganku terasa kering dan perutku lapar. Tapi, bagaimana dengan alunan gamelan itu? Apakah aman bagiku untuk keluar dari sarang kamarku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun