Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.
Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.
...
Berhasil! Aku baru mengucapkan setengah mantera pengusir hantu, si nenek jatuh terpelanting ke atas lantai kamar dan tiba-tiba menghilang. Kepompong selendang yang menyelubungi kepalaku pun terburai dan raib begitu saja.
Setelah kejadian tersebut, nenek itu beberapa kali menggangguku dengan menampakkan sepotong tangan keriput yang memegang kenop pintu kamar mandi. Aku mengganggap gangguan tersebut sepele dan nenek tersebut hanya ingin eksis. Hingga suatu siang, aku terlelap. Dalam keadaan setengah tertidur, aku merasakan hembusan napas di pipiku. Lagi-lagi si nenek tua. Gigi taringnya putih mengancam. Sedangkan bau tubuhnya seperti telur busuk. Sekarang nenek itu menindih lagi tubuhku sembari tertawa cekikikan. Sungguh hantu psikopat!
Mata nenek yang nyalang tersebut hanya berjarak dua inci dari mataku. Aku bisa melihat korneanya yang buram dan irisnya yang berwarna kelabu kebiruan. Pupil matanya seolah akan menelanku dalam kegelapan. Kami bertatapan saling mengukur kekuatan. Bulu kudukku merinding melihat mata nenek tersebut membesar dan membesar hingga seperti kolam hitam. Ia membuka mulutnya dan menyedot udara seolah ia hendak menarik jiwaku ke dalam dirinya. Uniknya, ia tiba-tiba menjerit kesakitan sembari menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya. Lalu, ia menghilang tepat ketika Nenek Dian mengetuk pintu kamarku.
"Nak Ray, ada apa? Kau bermimpi buruk? Mau Nenek temani?"
Aku ragu-ragu apakah ia benar-benar Nenek Dian. Setelah pengalamanku mandi di kamar mandi tetangga yang ditunjukkan oleh Nenek Dian jadi-jadian, aku jadi meragukan kemampuanku untuk membedakan dunia nyata atau pun mistis.
"Tidak apa-apa, Nek."
"Baiklah. Jangan segan meminta tolong, Nak. Kau sahabat Ranko, berarti kau cucuku juga."
"Terima kasih banyak, Nek."