Ups...Apakah itu? Aku sangat ngeri memandang sepotong tangan berdarah-darah yang asyik membelai ibu jari kananku. Hampir saja aku berteriak jika Tama tidak mengedipkan sebelah mata hijaunya.
Tama memberi tanda isyarat dan langsung mencakar tangan nakal tersebut. Terdengar suara rintihan. Tangan itu langsung terjungkal dan melarikan diri masuk ke dalam tanah makam di belakang kami. Terdengar isak tangis dalam makam tersebut.
"Manis benar ya sambutan penghuni makam di si...ni," keluhku sarkastik. Baru saja kalimat terucap, makam di sebelah kiriku meledak. Muncullah tengkorak yang berdiri dengan tangan terjulur ke depan.
ISTRI. MANA ISTRI? MANA ISTRIKU?
Suaranya yang parau bergema ke seantero pemakaman. Ia mulai bergerak mendekati kami.
"Jaga jarak, Kek. Tidak ada istri Kakek di sini."
ISTRI. ISTRIKU. ISTRIKU. AKU YAKIN ISTRIKU DATANG.
Tengkorak itu murka. Kedua lubang matanya menyala biru.
ISTRI. MANA ISTRIKU? KALIAN SEMBUNYIKAN DI MANA ISTRIKU?
Tama mendesis, “Ismi, bakar dia dengan obor suci yang kita bawa.”
Tengkorak itu menari-nari dalam jilatan api. Ia terus saja bergerak maju mendekati kami dengan gerakan mengancam. Oleh karena itu, aku pun mulai merapalkan mantera.