Tama langsung melakukan serangan sembilan buntut dan membuat mata kanan si kalong wewe kelilipan. Ia pun jatuh terjerembab. Untungnya, tubuhku bisa bergerak lagi dan aku berhasil menangkap Farrel yang ikut terjatuh bersama si kalong wewe.
Kalong wewe ini memang bukan makhluk sembarangan. Ia bangkit kembali dan mengepakkan sayap kalongnya begitu keras hingga aku jatuh berlutut. Saat itulah, ia berhasil merebut Farrel. Kemudian, ia terbang tinggi di antara pepohonan jati.
Aku pun langsung mengejar makhluk mistis tak tahu diuntung tersebut. Tepat di belakangku, Tama dan Ismi membuntutiku.
"Sialan! Entah terbang ke mana kalong wewe tersebut?" Gerutuku. Aku sangat bad mood. Wajah dan tubuhku berlumuran tanah lumpur akibat jatuh berulang kali. Tubuhku sangat lelah dan terasa kaku ketika digerakkan.
Ismi mendahuluiku. "Ke arah sana, Ray. Kalong wewe itu pasti terbang ke arah pemakaman umum."
Ah, jangan ke sana. Please, Ismi. Semoga kali ini terkaanmu salah. Tapi, harapan tinggal harapan. Perempuan memang selalu benar.
Aku memicingkan mata. Janggal sekali melihat gaya terbang kalong wewe. Pantas saja aku tadi tak melihatnya. Si kalong wewe terbang dan dalam beberapa detik ia menghilang. Kemudian, ia tampak lagi. Dan seterusnya.
Akhirnya, kami sampai juga di pemakaman umum yang terletak di lembah. Pemakaman itu tampak mencekam. Waduh, bagaimana jika malam ini semua hantu bangkit? Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang menarik kaki kananku. Tapi karena bulan tertutup awan, saat itu aku tak bisa melihat apa-apa."
"Tam...Tama...Ismi...kalian di mana? Gelap sekali. Aku tak bisa melihat apa pun. Kalian ada di dekat kaki kananku, ya? Jangan iseng menggelitik jempol kaki dong," pintaku. "Tak lucu."
"Siapa yang ingin memainkan jempolmu yang bau? Kau kan jarang ganti kaus kaki," tegas Tama.
Ismi terkikik. Ia menjentikkan kaki kanan depannya. Sekejap tampak lidah api biru yang melayang di dekat kami bertiga.